Memoar Mohammad Hatta diterbitkan ulang dengan judul baru dan format berbeda dibandingkan dengan edisi awalnya yang berjudul Mohammad Hatta: Memoir. Isinya tidak berubah. Banyak hal diungkap pahlawan proklamator ini seputar kiprahnya dalam pergerakan kebangsaan. Begitu pula beragam peristiwa menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus yang tak banyak diketahui generasi muda kini. Tak kalah penting ceritanya seputar tokoh-tokoh bersejarah di republik ini serta perselisihan awalnya dengan Bung Karno. Berikut nukilan cerita dari buku berjudul besar Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi itu.
“Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902.” Begitulah Bung Hatta mengawali otobiografinya, dilanjutkan dengan penggambaran seluk-beluk kota itu dari berbagai aspek. Mulai kondisi alamnya yang indah, denyut perekonomiannya, populasi, hingga latar belakang sejarah dan sekilas politik pengajaran yang diterapkan pemerintah kolonial.
Tentang kondisi alam dan letak geografisnya tentu tak banyak berubah dari gambarannya. Bukittinggi masih berudara sejuk dan berada di tengah-tengah Dataran Tinggi Agam. Keindahan kota itu dengan panorama di sekelilingnya pun masih bertahan, berlatar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Kecuali jumlah penduduk dan tata kotanya yang tentu sudah sangat berbeda dibandingkan dengan masa itu.
“Pada masa aku kanak-kanak, penduduk Bukittinggi kira-kira hanya 2.500 orang. Di antaranya, kurang-lebih 300 orang Belanda dan paling sedikit 1/3 dari itu termasuk keluarga militer…. Jumlah orang Tionghoa dan kaum peranakan ada kira-kira 600 atau 650 orang…. Kemudian ada pula beberapa keluarga Keling yang diam di Bukittinggi.” Demikian Bung Hatta melukiskan populasi kota yang pernah berjuluk “Fort de Kock” itu. (Menurut catatan Pemerintah Kota Bukittinggi, jumlah penduduknya kini sekitar 174.000 jiwa).
Dari aspek ekonomi, Bukittinggi sejak dahulu memang menjadi pusat kegiatan ekonomi warga daerah sekitarnya. Bahkan, menurut perkiraannya, pasar besar di situ sudah ada sebelum Belanda datang. “Tiap-tiap hari Rabu dan hari Sabtu ada pekan di Pasar Bukittinggi. Maka ramailah orang datang ke situ…. Selain dari pedagang yang datang menjualkan barang-barangnya, tidak sedikit pula orang yang datang berbelanja. Selain dari tempat jual-beli, pasar itu juga tempat pesiar,” tulis Bung Hatta.
Letak rumah tempat Bung Hatta dilahirkan, kawasan Aur Tajungkang, tidak seberapa jauh dari pusat keramaian itu. Kira-kiranya hanya berjarak satu kilometer. Sebuah rumah bertingkat dua, terbuat dari papan dan beratap seng. Di sisi kiri rumah itu agak ke belakang terdapat kandang kuda yang dapat memuat sampai 18 ekor kuda. Tidak mengherankan bila banyak kuda di rumah itu karena kakeknya dari pihak ibu, Ilyas gelar Baginda Marah, yang disapanya Pak Gaek, adalah pengusaha angkutan pos.
Pengaruh Agama dari Keluarga Ayah
Dalam catatannya, Hatta mengakui, hubungan sang kakek dengan penguasa Belanda pada masa itu cukup dekat. Itulah yang membuka jalan bagi dirinya di kemudian hari mendapat kesempatan masuk sekolah Belanda, HIS, dan menamatkan pendidikan dasar itu di Padang. Kendati sempat empat tahun tinggal di rumah ayah tirinya, Haji Ning, tak banyak hal yang diungkap Hatta soal lelaki itu. Kecuali ia belajar mengenal masalah-masalah ekonomi dan prakteknya.
Hatta memang ditinggal wafat ayah kandungnya, Haji Muhammad Djamil, sejak berusia delapan bulan. Kampung kelahiran ayahnya, Batuhampar, dahulu terkenal sebagai pusat pendidikan agama Islam. Datuknya dari pihak ayah, Syekh Abdul Rahman, diakui sebagai ulama besar di situ. Posisi sang datuk lalu digantikan anak sulungnya, Haji Arsyad, yang bukan lain kakek Bung Hatta sendiri.
Selain dari guru mengajinya, Syekh Muhammad Djamil Djambek, pihak keluarga ayahnya inilah yang memberi pengaruh besar tentang keislaman pada dirinya. Itu tergambar jelas pada saat ia menuliskan kesannya tentang Haji Arsyad yang ahli tarekat itu. “Sikap beliau sangat menakjubkan aku. Di situlah aku belajar bagaimana mesti hidup dan bergaul secara Islam,” tulis dia.
Mengenal Organisasi dari Sepak Bola
Tinggal bersama Haji Ning ternyata memberikan pelajaran tersendiri bagi dia. Hatta mengaku, di masa empat tahun itu ia belajar berdiri sendiri. Ia belajar mengatur waktunya sendiri, kapan harus belajar dan kapan bermain-main ke luar rumah. Malah pada masa ini pula ia mulai berkenalan dengan organisasi –berawal dari posisi bendahari klub sepak bola Swallow.
Ketika duduk sebagai siswa MULO, sekolah setingkat SMP di zaman Belanda, perhatiannya pada kegiatan berorganisasi bertambah besar. Di organisasi bernama Sarikat Usaha, ia mengenal dekat sekretarisnya, Engku Taher Marah Sutan. Dari dialah Hatta mengetahui kiprah Sarikat Islam dan tokoh-tokohnya, seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis.
Kegiatan nyata Hatta dalam organisasi pergerakan pun dimulai dari Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang pada 1918. Ia pun terpilih sebagai bendahari –posisi yang pernah dipegangnya dalam perkumpulan sepak bola. Dan pilihan itu tidak salah karena ternyata Hatta memang piawai mengelola keuangan untuk memajukan organisasi. “Karena aku menjadi bendahari pada dua perkumpulan, aku dapat merasakan dari dekat apa artinya keuangan bagi hidup perkumpulan,” tulis dia lagi.
Dalam berorganisasi ini, Hatta mengakui pengaruh Abdul Muis terhadap perhatiannya akan masalah-masalah kemasyarakatan. Dari tokoh pergerakan inilah ia mendengar gagasan tentang “rakyat memerintah sendiri” sebagai tujuan pergerakan nasional. Semua itu diperolehnya dari pidato Abdul Muis ketika bertandang ke Padang sebagai anggota Volksraad. “Aku kagum melihat cara Abdul Muis berpidato,” ujar Hatta terus terang.
Setamat MULO di Padang, Bung Hatta melanjutkan pendidikan ke Prince Hendrik School (PHS) di Betawi alias Jakarta. PHS yang dimasuki Hatta adalah sekolah dagang menengah dengan jenjang pendidikan lima tahun. Karena Hatta lulusan MULO, di sekolah ini ia diterima di kelas IV dengan mengambil jurusan dagang. Di sekolah ini juga ada jurusan pelayaran.
Menjadi Pengurus JSB di Betawi
Selama menuntut ilmu di Betawi, Hatta membeberkan betapa besar jasa kerabatnya yang dipanggil Mak Etek Ayub. Lelaki ini bukan lain anak sahabat karib kakeknya dari pihak ibu yang sudah seperti keluarga sendiri. Mak Etek inilah yang menanggung biaya sekolah dan biaya hidupnya di Betawi. “Mak Etek Ayub memberi aku f75 sebulan, jauh berlebihan dari yang aku perlukan tiap bulan,” tulis Hatta. Dari kelebihan itu dan uang kiriman keluarga di Bukittinggi, ia dapat menabung untuk biayanya kelak meneruskan studi ke Belanda.
Jasa Mak Etek Ayub tidak sebatas membiayai hidup dan sekolahnya. Hatta juga mengaku, lelaki setengah baya itu pula yang memperkenalkannya dengan buku-buku bermutu. Pada akhir Agustus, ia diajak ke toko buku di kawasan Harmoni dan dibelikan tiga macam buku. Buku-buku berjudul Staatshouishoudkunde, De Socialisten, dan Het Jaar 2000 itulah yang pada awalnya mengisi perpustakaan pribadi Hatta. Ia mengakui, buku De Socialisten itulah yang membuka cakrawala pengetahuan awalnya tentang sosialisme.
Ada catatan kecil menarik dari pengakuannya soal kesan yang didapatnya selama menuntut ilmu di PHS. Katanya, “Cepat, tepat, dan teratur, itulah warisan yang kubawa dari PHS. Didikan pada Handleshogeschool di Rotterdam menyempurnakannya. ‘Berbuat karena Allah’ yang menjadi dasar didikanku dari rumah juga membentuk aku sebagaimana aku dalam pelajaran, pendidikan, dan perjuangan untuk bangsa dan negara selama hidupku.”
Selama tinggal di Betawi, Hatta melanjutkan kiprahnya di JSB sebagai bendahari pengurus besar. Dari kegiatan organisasi itu, ia dapat berkenalan langsung dengan tokoh-tokoh terkemuka pada saat itu, termasuk Haji Agus Salim. Perkenalan dengan Haji Agus Salim pun berlanjut dengan diskusi seputar buku-buku yang telah dibacanya, termasuk tiga buku pemberian Mak Etek Ayub itu. Hatta mengaku, diskusi pada malam hari itu memperkuat keyakinannya pada sosialisme, “Yang mulai bersarang dalam jiwaku,” katanya.
Setamat PHS pada Mei 1921, Hatta yang bercita-cita melanjutkan studi ke Rotterdam sempat patah semangat. Terutama mengingat masalah biaya hidup di sana. Tapi dorongan guru kimia dan pengetahuan barang, Mr. de Kock, menguatkan kembali hatinya. Hatta pun berangkat bermodalkan tabungannya selama ini. Ia juga bertekad mencari beasiswa karena, setelah dihitung-hitung, tabungannya hanya cukup untuk hidup satu tahun.
Beruntung pula, sebelum ia berangkat, pemimpin surat kabar Neratja meminta dia menulis artikel tetap dari Belanda, dengan honor lebih besar dari biasanya. “Biasanya Neratja membayar untuk satu kolom f2,50, tapi untuk karangan-karanganku dari luar negeri kuminta f5.” Dan permintaan itu langsung disetujui.
Kesepakatan Diam-diam dengan Semaun Pada 5 September 1921 siang, kapal Tambora yang membawa Hatta ke Belanda berlabuh di Rotterdam. Inilah awal langkahnya yang lebih besar lagi, baik dari segi pendidikan maupun peran dalam pergerakan mahasiswa Indonesia. Hatta tak hanya mencurahkan waktunya untuk studi di Handleshogeschool, melainkan juga membaginya untuk bergiat di Indische Vereeniging. Ia secara teratur menulis di majalah Indonesia Merdeka, yang diterbitkan organisasi itu sejak 1924.
Organisasi mahasiswa Indonesia yang sempat pula menyandang nama Indonesische Vereeniging itu mengubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia semasa dipimpin Soekiman Wirjosandjojo pada 11 Januari 1925. Sedangkan Hatta di masa kepemimpinan Soekiman ini lagi-lagi dipercaya menjadi bendahari organisasi itu dan baru pada tahun berikutnya terpilih menjadi ketua.
Dalam posisi itulah ia menjadi semakin aktif dalam kegiatan politik dan bertemu tokoh-tokoh pergerakan di luar negeri. Ia juga berkesempatan mengunjungi sejumlah kota di Eropa untuk mengikuti berbagai kegiatan internasional, termasuk menghadiri Kongres Liga Menentang Imperialisme untuk Kemerdekaan Nasional di Brussels pada Februari 1927. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia, seperti Semaun. Di Eropa ini pula ia berkenalan dengan Tan Malaka yang sudah kesohor.
Ada yang menarik dari cerita Hatta seputar peristiwa setelah pemerintah kolonial memadamkan pemberotakan PKI 1926 hanya dalam sepekan. Peristiwa itu makin memuluskan rencana Hatta mendirikan partai di Indonesia sebagai kepanjangan tangan Perhimpunan Indonesia. Rencana itu baru benar-benar terwujud pada 1931, dengan pembentukan partai kader bernama Pendidikan Nasional Indonesia atau sering disebut PNI Baru.
Semaun yang baru diangkat menjadi anggota Komintern datang menemui Hatta di Den Haag. Dalam pembicaraan mereka, Semaun bersedia membuat kesepakatan pengakuan terhadap kepemimpinan Perhimpunan Indonesia. Hal ini berarti Perhimpunan Indonesia akan memegang peran penting dalam pergerakan di Indonesia. Kesepakatan ini ternyata menyebabkan Semaun dipecat dari Komintern karena dianggap tunduk pada kemauan kaum nasionalis.
Selama menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, Hatta banyak menghadiri forum-forum internasional. Bukan cuma bicara di depan Kongres Liga Menentang Imperialisme, ia juga tampil berbicara di dalam forum Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan. Malah ia berkesempatan memperdalam pengetahuan tentang koperasi ke beberapa negara jantungnya koperasi di Skandinavia: Denmark, Swedia, dan Norwegia.
Pertemuan Pertama dengan Soekarno
Konvensi yang dibuatnya bersama Semaun rupanya bocor. Isu seputar konvensi itu ternyata menjadi salah satu alasan Pemerintah Belanda menahan Bung Hatta pada 27 September 1932. Pada saat itulah, Bung Hatta menyusun pidato pembelaan dirinya yang tertuang dalam naskah berjudul “Indonesia Vrij” alias “Indonesia Merdeka”. Hampir enam bulan lamanya ia bersama beberapa rekannya di Perhimpunan Indonesia mendekam di penjara, sampai akhirnya pengadilan membebaskan mereka pada 22 Maret 1928.
Genap 11 tahun Hatta mukim di Belanda sampai studinya selesai. Pada 20 Juli 1932, ia berangkat dari Rotterdam menuju Indonesia, melewati Paris dan Genoa. Lalu, dari Genoa, ia singgah dulu di Singapura dan menginap dua malam. “Di situlah aku merasai kembali suasana kolonial. Ke mana aku pergi selalu diikuti oleh polisi rahasia. Dari Singapura aku meneruskan perjalanan pulang ke Indonesia dengan menumpang kapal KPM,” tulis dia mengenang perjalanan pulang.
Sesampai di Tanjung Priok, ia disambut iparnya, Dahlan Sutan Lembaq Tuah, juga Nyonya Suwarni Pringgodigdo dan beberapa anggota PNI Baru. Bawaannya yang begitu banyak, setidaknya ada 16 peti besi berisi buku, sempat membuat inspektur polisi yang memeriksanya tercengang. “Begitu banyak buku yang Tuan bawa,” itulah komentar sang inspektur yang baru sempat memeriksanya tiga hari kemudian.
Perjumpaan pertamanya dengan Bung Karno berlangsung setelah dua pekan Hatta berada di Jakarta. Itu pun atas inisiatif seorang pemilik toko Padang di kawasan Kramat bernama Haji Usman, yang mengajaknya ke Bandung dengan mobilnya. “Anak gadang Hatta kan belum bertemu dengan Soekarno. Dia sudah kira-kira setengah tahun keluar dari Penjara Sukamiskin…. Sungguhpun berlainan partai, baik juga belajar kenal dengan dia,” tulis Bung Hatta mengutip ucapan haji itu.
Pertemuan dengan Soekarno itu berlangsung pada Sabtu malam sekitar pukul 09.00 di hotel tempat Bung Hatta menginap. Bung Karno datang bersama orang pergerakan lainnya, Maskoen Soemadiredja, yang juga anggota PNI Baru. Menurut Hatta, mereka hanya mengobrol ringan, tak menyinggung sama sekali soal penyatuan Partai Indonesia dan PNI Baru. Baru pada saat berpamitan pulang, Bung Karno berpesan agar Hatta segera kembali ke Bandung untuk membicarakan masalah itu.
“Aku menjawab bahwa memang aku akan lekas kembali ke Bandung, terutama untuk bertemu dengan Pengurus Umum PNI Baru. Setelah mereka berangkat, Haji Usman berkata bahwa ia mengerti Soekarno tidak mau menyinggung masalah Partindo dan PNI Baru karena dia sendiri, yang bukan anggota dari kedua partai, ada hadir,” Hatta mengenang pertemuan itu.
Awal Perselisihan dengan Bung Karno
Ketika Hatta kembali ke Jakarta, PNI Baru juga sudah memiliki media sendiri yang terbit secara berkala. Namanya Daulat Ra’jat. Hatta segera pula menuangkan segala pemikirannya tentang pergerakan melalui media itu. Di salah satu tulisannya, “Pendirian Kita”, ia menjelaskan dengan gamblang latar belakang pemilihan nama Pendidikan Nasional Indonesia.
Ia antara lain menulis, “Sifat perkumpulan kita pendidikan, karena memang maksud kita mendidik diri kita. Politik di negeri jajahan, terutama berarti pendidikan. Politik mengenai pengertian biasa tidak bisa dijalankan, kalau rakyat tidak punya keinsafan dan pengertian…. Kedaulatan Rakyat dasar pendidikan kita. Inilah yang dimajukan oleh ‘Daulat Ra’jat’ semenjak ia berdiri dan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dalam kursus-kursusnya.”
Penggambaran Hatta tentang bentuk pergerakan ini boleh dibilang sebagai gambaran awal perselisihan pahamnya dengan Bung Karno. Hatta mengecam cara-cara agitasi yang dianggapnya tidak mendidik rakyat ke arah satu pengertian tentang asas pergerakan. “Demokrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak berkehendak akan kerja dan usaha terus-menerus. Dengan agitasi mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang,” tulis Hatta menyindir Bung Karno.
Perbedaan prinsip itu pula yang rupanya menghalangi penyatuan PNI Baru dengan Partindo. Dalam pertemuan berikutnya dengan Soekarno, Hatta menegaskan pendirian dan asas pergerakan PNI Baru yang tidak bisa diubah lagi. “Kukatakan, lebih baik kedua belah pihak jangan serang-menyerang. Di mana perlu diadakan aksi bersama.”
Polemik berikutnya di antara dua tokoh ini berlangsung seputar gagasan tentang gerakan non-kooperasi. Perdebatan ini mencuat setelah beredar kabar bahwa Hatta dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer. Kendati Hatta tegas-tegas menolak pencalonan itu, Bung Karno tetap melancarkan kritik pedas lewat tulisannya di beberapa media, termasuk Oetoesan Indonesia.
Hatta mencatat, “Polemik itu menjadi pertentangan paham antara Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia. Menurut paham Partindo, seorang non-cooperation melanggar asasnya apabila mau masuk ke dalam Tweede Kamer. Menurut keyakinan PNI Baru, duduk bersidang dalam Tweede Kamer tidak bertentangan dengan dasar non-cooperation, karena Tweede Kamer adalah suatu parlemen, bukan dewan jajahan. Dalam parlemen, pemerintah dan oposisi sama derajatnya.”
Polemik itu berlangsung cukup alot dan sengit. Hatta kemudian mengupas pandangan beberapa pemimpin Partindo soal sifat non-kooperasi. “Pandangan Soewandhi tentang non-cooperation berlainan dari pandangan Soekarno dan pandangan Soekarno lain lagi dari pendapat Ptw, yang di belakang itu bersembunyi Amir Sjarifuddin…. Dapatkah rakyat dididik yang terang dari politik gado-gado seperti itu?”
Ditangkap Lalu Diasingkan
Di sela-sela aktivitas pergerakan di bawah bendera PNI Baru, Hatta sempat bertandang ke Jepang atas ajakan Mak Etek Ayub. Di tanah seberang, ia terus mengikuti perkembangan di dalam negeri. Ia pun mendapat kabar, selama berada di “negeri sakura” itu, polisi kolonial bertindak lebih keras terhadap pergerakan rakyat. Hatta sendiri sempat mengalami tindakan keras itu pada sejumlah kursus yang diberikannya kepada kader-kader PNI Baru.
Yang segera merasakan tindakan keras itu adalah Bung Karno. Ia ditangkap polisi rahasia pada 31 Juli 1933. Penangkapan ini berlanjut dengan larangan mengadakan rapat dan bersidang untuk semua partai berhaluan non-kooperasi. termasuk PNI Baru dan Partindo. Setelah itu, berpuluh-puluh pemimpin ikut ditangkapi pula.
Tapi semua itu tak menyurutkan semangat Hatta untuk tetap berjuang melalui tulisan. Ia terus mengecam tindakan represif pemerintah jajahan lewat Daulat Ra’jat. Semua lalu berujung penangkapan dan penahanan dirinya pada 25 Februari 1934.
Seperti tercatat dalam sejarah, Hatta kemudian diasingkan ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua, pada awal Januari 1935. Setelah 13 bulan di Digul, ia bersama Sjahrir dipindahkan ke tempat pengasingan baru di Banda Neira. Inilah masa enam tahun yang tak pernah sepi dari kegiatan yang dijalaninya dalam pembuangan. Dan Hatta punya kenangan tersendiri dalam pengasingannya itu, teristimewa pertemuannya dengan sejumlah tokoh pergerakan seperti Dokter Cipto Mangunkusumo.
Selama di Neira, Hatta menerima tunjangan uang dari pemerintah kolonial sebesar f75 per bulan, sama dengan yang diterima Sjahrir, karena keduanya masih bujangan. Jumlah itu lebih baik bila dibandingkan dengan nilai ransum bulanan ketika ia berada di Digul, yang kalau diuangkan tak lebih dari f12. Dari uang itulah ia membayar sewa rumah seorang Belanda bernama De Vries dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah itu dihuninya berdua dengan Sjahrir.
Setiap bulan, Hatta mengambil uang bantuan itu ke kantor Pemerintah Neira. Di kantor itu pula ia mengambil kiriman uang honorarium dari surat kabar Pemandangan dan Sin Tit Po. Untuk menambah uang saku di pembuangan, sejak di Digul ia memang rutin menulis artikel untuk dua surat kabar itu. Hari-hari Hatta di Neira tak ubahnya di Boven Digul. Walau semula ia mengaku merasakan perbedaan suasana antara Digul dan Neira, Hatta dapat segera menyesuaikan diri dengan keadaan ini.
Seputar Sjahrir di Pengasingan
Di Digul, Hatta dapat berhubungan dengan ratusan orang buangan, sedangkan di Neira jumlah sesamanya tak lebih dari empat orang buangan. Ia pun mengisi waktu dengan aktivitas rutin: membaca buku dan mengajar. Ia mengatur ketat jadwal kegiatannya. Pagi, sekitar pukul 06.00, usai salat subuh, Hatta bersiap-siap sarapan sambil membaca buku.
Dari pukul 08.00 hingga pukul 12.00, ia menyiapkan naskah untuk surat kabar Pemandangan atau Sin Tit Po. Setelah salat lohor, ia makan, lalu beristirahat sampai pukul 14.00, saatnya ia mengajar anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ia lalu menghabiskan waktu sore dengan berjalan-jalan di perkebunan pala, berenang, dan menikmati panorama pantai.
Dengan pengaturan jadwal yang ketat ini, Hatta lambat laun menjadi patokan waktu bagi penduduk setempat, terutama para petani pala. Jika Hatta lewat perkebunan, berarti sudah hampir pukul lima sore, saatnya berhenti bekerja. Malam hari, usai salat magrib dan isya, ia mengajar orang-orang dewasa.
Dua di antara muridnya yang dewasa itu bernama Obeid, seorang pedagang yang ingin mendalami tata buku, dan Djohn, yang mempelajari ilmu politik. Setelah dua tahun berada di Neira, ia menerima dua pemuda, Bachtul dan Moenir, yang berasal dari Bukittinggi, untuk belajar ekonomi dan sejarah. Lalu ada juga waktu yang disisihkannya untuk mengajar Donald dan Louis, dua anak Dokter Cipto.
Hatta punya catatan tersendiri soal sahabat karibnya, Sjahrir, dan anak-anak angkatnya. Pada awal-awal masa pembuangan di Neira, ia melihat Sjahrir seperti dihinggapi psikologi kesunyian. Ia menuturkan, “Di Digul ia biasa mengobrol dengan kawan-kawan yang banyak. Bila ia tidak didatangi oleh kawan-kawan, kebanyakan golongan naturalis, ia sendiri mengunjungi kawan-kawan itu di rumah mereka. Tetapi semacam itu tidak ada di Neira.”
Beruntung, ada anak-anak dari keluarga Baadillah yang kemudian jadi anak angkat Sjahrir. Dengan merekalah –Des Alwi dan Lili, serta saudara sepupunya, Mimi– Sjahrir mengusir kesunyian itu. Tapi, seperti diakui Hatta, ulah anak-anak itu pula yang membuat Sjahrir kemudian memutuskan tinggal di rumah terpisah.
Anak-anak itu menumpahkan air dari vas bunga, kemudian membasahi buku Hatta yang dipinjam Sjahrir. “Sjahrir marah kepada mereka dan aku pun ikut marah…. Pada akhir bulan setelah itu, Sjahrir berkata kepadaku bahwa lebih baik dia pindah rumah saja. Anak-anak angkatnya itu beserta saudara-saudara mereka nakal semuanya. Ia khawatir nanti banyak bukuku tersiram air, mungkin robek.”
Hatta dan Sjahrir keluar dari Banda Neira genap sebulan sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada balatentara Jepang. Mereka lalu ditempatkan di sebuah rumah dalam kompleks sekolah polisi di Sukabumi. Setelah kedatangan pasukan Jepang ke Sukabumi, Hatta pun kembali ke Jakarta.
Kasus Penculikan dan Obsesi Soekarni
Dalam memoar ini, ada satu episode menjelang kemerdekaan yang cukup menarik diungkap Bung Hatta. Sejarah mencatat, ada desakan kuat dari kalangan pemuda agar Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus. Tapi dua tokoh itu tegas menolak tuntutan tersebut. Bahkan Bung Karno sempat menantang Wikana, seorang tokoh pemuda yang datang menggertaknya. Inilah cerita yang melatari cerita tentang penculikan Soekarno-Hatta di pagi buta 16 Agustus 1945.
Menurut kesaksian Hatta, yang terjadi sesungguhnya bukanlah penculikan. Para pemuda mengungsikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok karena, menurut keterangan Soekarni, tokoh pemuda, pada tengah harinya 15.000 rakyat bersama mahasiswa dan anggota Peta akan menyerbu kota, lalu melucuti tentara Jepang. Langkah itu terpaksa ditempuh karena Soekarno-Hatta tidak mau memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga.
Ibu Fat dan Guntur, anak sulung Bung Karno, ikut dalam rombongan. Di Rengasdengklok, mereka ditempatkan di dalam asrama Peta, lalu dipindahkan ke sebuah rumah milik tuan tanah Tionghoa. Tunggu punya tunggu, hingga tengah hari tidak terdengar kabar apa-apa soal gerakan rakyat dan Peta di Jakarta.
Malah ada cerita lucu soal para pemuda di tempat “penculikan” itu. Ternyata mereka yang menjaga rumah “tahanan” Soekarno-Hatta sama sekali tak mengenal siapa Soekarni. Begini kesaksian Hatta, “Kira-kira pukul 12.30, aku minta tolong kepada pemuda yang menjaga di muka pintu halaman supaya Soekarni diminta datang. ‘Siapa itu, Tuan?’ katanya. Kuterangkan bahwa yang kami maksud ialah seorang dari pemuda yang mengantar kami ke rumah itu…. Pemuda itu pergi dan kami tertawa saja melihat ia pergi, sebab sebagai ‘pengawal yang bertugas’ ia tidak boleh meninggalkan tempatnya.”
Tidak lama kemudian, Soekarni datang. “Aku bertanya kepada dia, apakah revolusi yang akan bermula pukul 12.00 tengah hari sudah bermula? Apakah 15.000 rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama mahasiswa dengan Peta sudah masuk kota? Soekarni mengatakan, ia belum mendapat kabar.”
Sekitar satu jam kemudian, Soekarni datang dan mengatakan belum juga mendapat kabar dari Jakarta. Ia pun tidak memperoleh kontak dengan Jakarta. Hatta lalu menyindir, “Kalau begitu, revolusimu sudah gagal. Buat apa kami beristirahat di sini apabila di Jakarta tidak terjadi apa-apa?” Soekarni rupanya belum yakin bahwa revolusi yang direncanakan itu gagal. Ia segera berlalu sebelum Hatta menanyakan apa yang ada dalam pikirannya pada saat itu.
Kabar pasti tentang situasi di Jakarta baru diperoleh setelah kedatangan Mr. Subardjo menjelang magrib, sekitar pukul 18.00. “Ia disuruh Gunseikan untuk mengambil kami semua, membawa kembali ke Jakarta…. Subardjo mengatakan bahwa di Jakarta biasa saja, tidak ada terjadi apa-apa.” Mr. Subardjo sempat melontarkan protes. Bung Hatta menulis, “Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta. Atas pertanyaanku, apakah Panitia Persiapan Kemerdekaan jadi berapat tadi pagi, Mr. Subardjo menjawab, ‘Apa yang akan dikerjakan mereka? Saudara-saudara yang mengundang mereka rapat tidak ada, berada di sini?’.”
Ketika perjalanan kembali ke Jakarta, masih juga ada cerita lucu akibat obsesi Soekarni soal revolusi pada hari itu. Begini cerita Bung Hatta. “Setelah beberapa waktu berjalan, kelihatan langit merah sebelah barat tanda ada yang terbakar. Terus Soekarni berkata, ‘Bung, rakyat sudah mulai berontak, membakari rumah-rumah orang Tionghoa. Lebih baik kita kembali ke Rengasdengklok.” Usut punya usut, ternyata api itu berasal dari jerami yang dibakar rakyat di tempat itu.
Sayangnya, memoar Hatta ini hanya berisi catatan-catatan perjalanan kehidupan pribadi dan politiknya hingga sebatas Konferensi Meja Bundar (KMB) dan penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia. Hingga kini, tidak seorang pun tahu, mengapa Bung Hatta tidak menulis periode selanjutnya dari kehidupan beliau yang tentu tidak kalah penting dan menariknya.
Hanya ada catatan kecil dari putri sulung beliau, Meutia Farida Hatta Swasono, dalam pengantarnya untuk penerbitan ulang memoar ini. Jangankan orang lain, keluarga Bung Hatta sendiri tidak pernah tahu dengan tepat, mengapa beliau tidak menceritakan masa-masa setelah KMB. Yang mereka tahu, “Hal yang paling menggembirakan beliau dalam hidupnya adalah dua peristiwa, yakni ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan ketika menerima penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat.”
Soal peran dan kiprah Bung Hatta pasca-KMB tampaknya masih terbuka untuk bahan kajian dan penulisan.
Walau sejauh ini sudah ada sejumlah buku, brosur, ataupun artikel yang membeberkan buah pikirannya, konsistensinya membina koperasi, sampai kehidupan sosial-politiknya hingga menjelang akhir hayatnya.
(Sumber: Majalah Gatra, Edisi 26 Mei 2011 - 1 Juni 2011, Erwin Y. Salim)