Selasa, 09 Oktober 2012

Sejarah Gedung Sate Kota Bandung

0 komentar

Gedung Sate Bandung

Imam Mudji's blog~  Gedung Sate Kota Bandung.  Dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, Gedung Sate Kota Bandung gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.

Gedung Sate Kota Bandung. yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Gedung Sate (ca.1920-28)

Gedung Sate Kota Bandung Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf dan Perpustakaan.

Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.

Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
Read more...

Jumat, 20 Juli 2012

Mitos Air Terjun Sedudo Kota Nganjuk

0 komentar
Dibalik Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk Kaya rempah-rempah, Bisa jadi Obat Awet Muda 
Banyak yang menyakini jika air terjun Sedudo mampumembuat awet muda siapa saja yang mandi disana. Ada apa dibalik mitos itu?

Jika kita mendengar wisata air terjun Sedudo yang terletak di Desa Ngliman Kec Sawahan, akan selalu muncul dibenak kita jika air terjun ini mempunyai banyak khasiat, salah satunya adalah menjadi obat awet muda. Hal ini banyak diyakini masyarakat sekitar, jugamasyarakat diluar Nganjuk. Terbukti jika wisata airterjun ini tak pernah sepi dari pengunjung. Baik yang hanya sekedar ingin menikmati pemandangannnya yangindah, ataumemang sengaja ingin membuktikan mitos yang banyak berkembang itu.Namun tak banyak yang tahu apa yang menyebabkan air terjun yang berada di Kab Nganjuk bagian selatan itu mempunyai mitos seperti ini. Kalangan sejarah menilai,mitos ini berdasar atas sejarah terbentuknya airterjun itu dan kajian ilmiah.Harimintadji, salah satu tokoh sejarah di Nganjuk mengungkapkan ada sejarah dan perkiraan secara ilmiah tentang mitos itu. Dari tinjauan sejarah, saat itu air terjun Sedudo dibuat oleh salah satu tokoh wargasekitar bernama Sanak Pogalan. Ia merupakan petani tebu yang harus menelan kecewa dari peenguasa jamanitu. Karena kekecewaannya inilah, ia kemudian menjadi pertama disekitar sumber air terjun Sedudo. Dalamtapanya, ia berniat untuk menenggelamkan Kota Nganjuk dengan membuat sumber air yang sangat besar.
’’Dia bersumpah untuk menggelamkan desanya itu. Dandibuatlah sumber air yang sangat besar,’’ tuturHarmintadji, yang pernah menjabat sebagai Wedoro KabNganjuk itu.Karena kesucian Sanak Pogalan inilah, sebagian wargameyakini jika sumber air terjun Sedudo, mengandung beberapa khasiat, salah satunya menjadi obat awet muda.
’’Menurut sejarhnya begitu,’’ tambah Harmintadji. Selain tentang sejarah, ia juga menduga jika secarailmiah khasiat obat awet muda dari air terjun Sedudo ini bisa diraba. Menurutnya, pada jaman kerajan dulu, ada tokoh bernama Resi Curigonoto yang sengaja mengasingkan diri di atas lokasi air terjun.
Dalam pengasingannya itu, Resi Curigonoto berniat untuk menjadikan hutan itu sebagai kebun rempah-rempah. Karena menganggap jika tanah hutan, bisa menjadi mediayang sangat bagus untuk mengembangkan rempah-rempah yang saat itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Resi Curigonoto lantas meminta Raja Kerajaan Kediri untuk mengirim rempah-rempah ke tempat pengasingannya itu. Namun, tak begitu jauh dari tujuannya, tiba-tibagerobak-gerobak yang mengangkut rempah-renpah iiterguling diantara sumber air terjun Sedudo. ’’Lalu rempah-rempah ini tumbuh subur hingga memenuhi hutan yang menjadi tempat sumber air terjun Sedudo,’’tambahnya.Sehingga, lanjut pria yang menjadi pegawai negerisipil (PNS) sejak tahun 1964 itu, air yang mengalir keair terjun Sedudo banyak mengandung rempah-rempah itu.’’Secara otomatis, rempah-rempah ini mampu menjadiobat yang multi khasiat, salah satunya adalah memmbuatwajah tampak bersih. Sehingga kelihatan awet muda,’’katanya.Mitos ini juga sdijunjung tinggi oleh Pemkab Nganjuksendiri. Buktinya, setiap bulan Syuro, Pemkab Nganjukmenggelar ritual ‘Siraman’. Dimana akan banyakmasyarakat Nganjuk yang mandi bersama di lokasi wisataair terjun ini. ’’Memang budaya siraman ini menjadi agenda tahunanPemkab Nganjuk. Selain untuk menarik wisatawan, jugauntuk melestarikan budaya yang sudah ada ratusan tahunsilam itu,’’ kata Ujang Zalkadri , Ka Sub Din Obyekdan Daya Tarik Wisata Disparbuda Nganjuk. 
sumber:(tritus julan)
Read more...

Senin, 02 Juli 2012

Sejarah Hidup RONGGOLAWE Tuban

2 komentar
                                         Sejarah Perjalanan Hidup RONGGOLAWE Tuban
Ronggolawe (lahir:... ? - wafat: 1295) adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur sampai saat ini.

Peran Awal
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.

Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti "benang", atau dapat juga bermakna "kekuasaan". Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.

Selain itu, Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri.

Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.

Jabatan di Majapahit
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.

Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.

Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit.

Dalam prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.
Read more...

Minggu, 01 Juli 2012

Budaya Minum Toak Dan Khasiat Toak Tuban

0 komentar
Imam Mudji's Blog - Bagi masyarakat Tuban minum tuak bukan berarti mabuk-mabukan, walaupun sebagaian masyarakat ada yang minum tuak untuk mabuk-mabukan. Minum tuak sudah menjadi tradisi masyarakat Tuban sejak ratusan tahun silam.

Peminum Toak di Tuban berasal dari berbagai lapisan masyarakat, golongan dan tingkatan sosial, petani, buruh, pegawai, pedagang, tentara, polisi, pengusaha, miskin, kaya. Pada saat duduk nglesot bersama dalam majelis tuak, mereka tidak mempermasalahkan status sosial mereka sehingga tidak ada penghalang bagi mereka untuk menjalin keakraban...
Ada sebuah cerita sorang Bapak separuh baya yang sedang sakit diperiksakan ke dokter oleh keluarganya, setelah menjalani pemeriksaan dan tes laborat, dokter menyampaikan agar Bapak tersebut tidak makan jeroan, kacang-kacangan dll. Bapak tersebut menjawab tidak apa-apa di larang makan yang enak-enak asalkan tidak dilarang MINUM TUAK....

Foto anak anak Rembes Palang Gok Tong, Dedy, DKK
Masyarakat Tuban juga mempercayai bahwa dengan rutin minum tuak secukupnya (tidak berlebihan) akan menghindarkan dari penyakit batu ginjal. Kondisi geografi Kabupaten Tuban yang terdiri dari pegunungan batu kapur menyebabkan sumber air yang digunakan sebagai sumber air bersih PDAM maupun digunakan langsung oleh masyarakat kandungan kapurnya sangat tinggi sehingga apabila mengkonsumsi air tersebut sangat kemungkinan timbul endapan batu ginjal, dengan meminum tuak secara rutin dipercaya bisa melarutkan endapan kapur / batu ginjal. 
Seperti contoh Foto di bawah ini Lek Sukadi DKK desa Sumurgung palang Tuban, Mereka Tengah asik menikmati minuman toak sambil ngobrol tentang keseharian mereka.

Read more...

Rabu, 27 Juni 2012

Sejarah Ronggolawe di Tanah Tuban

0 komentar
Masyarakat Tuban tidak bisa dipisahkan dari legenda Ronggolawe dan Brandal Lokajaya. Legenda itu begitu kental dan menyejarah sehingga sedikit banyak mewarnai pembentukan sistem nilai pribadi dan sosial. Elite politik sering kali memanfaatkan untuk kepentingan dan pencapaian target politiknya.
 
Legenda Ronggolawe versi masyarakat Tuban berbeda dengan naskah sejarah seperti ditulis kitab Pararaton maupun Kidung Ranggolawe. Menurut Kidung Ranggolawe, tindakan ngraman (berontak) Ronggolawe dilancarkan setelah tuntutannya agar pengangkatan Empu Nambi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit dianulir.
 
Rudapaksa politik yang menurut Pararaton terjadi pada tahun 1295 itu berakhir tragis. Raja Kertarajasa Jayawardhana menolak tuntutan Ronggolawe tersebut. Pasukan dikirim untuk menyerang Ranggolawe. Akhirnya Ronggolawe diperdayai untuk duel di Sungai Tambak Beras. Dia pun tewas secara mengenaskan oleh Mahisa Anabrang.
 
Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu.
Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri.
Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir).
 
Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang.
Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi.
Melalui skenarionya, Lembu Sora, paman Ronggolawe yang membunuh Mahisa Anabrang akhirnya dibunuh oleh pasukan Nambi melalui tipu daya yang canggih.
Empu Nambi sendiri mati dengan tragis. Dia diserang pasukan Majapahit pada saat pemerintahan Raja Jayanegara karena bisikan Mahapati bahwa Nambi ngraman. Kidung Sorandaka mencatat, Mahapati menggapai ambisinya dan dilantik menjadi patih amangkubumi tahun 1316.
Read more...

Sabtu, 31 Maret 2012

Karapan Sapi Pesta Rakyat Madura

2 komentar
Karapan Sapi, pertama mendengar kalimat itu, tanpa pikir panjang pun pikiran kita langsung tertuju kepada suatu tempat di sebelah timur laut Jawa Timur. karena di sana lah asal muasal dan lahirnya karapan sapi. pulau madura sebagai tempat asal dan perkembangan budaya karapan sapi madura ini.
awal mula acara yang lebih bersifat ke adat istiadatan tersebut secara tertulis tidak ada yang begitu jelas secara detail.  akan tetapi jika di lihat dari sumber lisan,menurut berita ada beberapa versi sumber di mana karapan sapi ini bisa muncul ke permukaan masyarakat madura hingga sampai menjadi budaya khas madura yang kita kenal saat ini.

Asal muasal sejarah karapan sapi madura, acara  karapan sapi ini muncul karena untuk penyebaran agama Islam di tanah Maduran. sumber lain juga mengatakan, karapan sapi ini sudah ada dan di kenal sejak zaman dulu secara turun temurun. selain itu pula dapat kita ketahui bahwa Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13. yang awalnya hanya memanfaatkan tenaga sapi-sapi tersebut sebagai pengolah sawah semata. karena di anggap mempunyai hasil yang bagus, dengan cara menggunakan sapi untuk membajak tanah-tanahnya sehingga tumbuh subur. karapan sapi pun mulai populer dan berkembang di seluruh tanah madura.

Asal Usul Karapan Sapi Madura

karapan sapi hingga kini menjadi salah satu tradisi khas madura yang di adakan setiap bulan agustus dan september, acara karapan sapi biasanya di adakan di beberapa tempat di madura. Selain itu acara karapan sapi di sebut juga sebagai pertandingan bisa juga adu gengsi masyarakat madura yang nantinya acara tersebut berujung di babak final adu cepat pada minggu akhir di bulan tersebut (akhir September atau Oktober) jika anda ingin menyaksikannya anda bisa langsung menuju ke kota Pamekasan-madura. acara adat karapan sapi ini di nilai cukup bergengsi karena para peserta saling memperebutkan Piala Bergilir Presiden dalam pertandingannya.

Karapan Sapi Madura
lantas apakah karapan sapi tersebut, apakah hanya adu balap liar yang di tunggangi dan yang cepat menjadi juara! Karapan sapi tidak bias di katakana begitu saja, seperti yang harus kita ketahui, acara karapan sapi bukan hanya merupakan pesta rakyat yang di gelar secara rutin dari tahun ke tahun semata bagi masyarakat madura, karapan sapi juga tidak bisa di katakan hanya sebagai tradisi yang dilaksanakan sejak dulu kala yang di lakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya seperti yang ada saat ini. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan tersendiri yang akan mengangkat martabat di bagi masyarakat madura. itulah sering juga karapan sapi di sebut juga sebagai Ajang Adu Gengsi Rakyat Madura.
karapan sapi Karapan Sapi, Pesta Rakyat Khas Madura

Budaya adat karapan sapi, dalam ajang perlombaan tak hanya satu, dua cara dari banyaknya para peserta yang mengikuti perlombaan ini agar sapinya berlari dengan cepat dan akhirnya menjadi pemenang. biasanya mereka sampai melukai sapi-sapi tersebut di bagian tubuh belakang, dengan harapan sapi sapinya dapat lari dengan kencang. perlu anda ketahui juga,  tindakan melukai sapi bukanlah budaya asli dari Karapan sapi yang selama ini anda ketahui. hal semacam itu memang ada dan bahkan di setiap kegiatan macam apa pun dan sulit di ubah oleh kebanyakan masyarakat. tak luput dari peringatan pemerintah pun agar mereka tidak melakukan dan menyiksa sapi-sapi yang di ikutkan dalam ajang tersebut.

Macam Jenis Karapan Sapi Di Madura

Ternyata karapan sapi juga mempunyai beberapa macam, tidak hanya satu macam saja, yang biasa di tampilkan ada beberapa macamnya. Yuk kita simak!

1. Kerap jar-ajaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.

2. Kerap Keni’ (kerapan kecil)
Kerapan Keni biasanya pesertanya hanya di ikuti oleh satu kecamatan saja. Karena kerap keni ini tergolong dalam perlombaan kecil jarak tempuhnya pun juga juga tidak terlalu jauh, sekitar 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih.

3. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap Negara, perlombaan ini biasanya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

4. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

5. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat karesidenan/ gubeng)
Kerap Karesidenen adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan, Kerap Karesidenen merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

Karapan Sapi di HUT 2 Plat-M
indonesia memang di kenal sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya. Karapan sapi salah satunya, kegiatan adat budaya ini di nilai cukup menarik oleh sebagian masyarakat dalam maupun luar madura. karena mempunyai ciri khas yang unik. hal semacam ini perlu juga dukungan dari pemerintah swasta bidang pariwisata. agar selain unik dan menghibur juga sebagai salah satu icon suatu daerah. sehingga nantinya akan memperkokoh seluruh kedaulatan tanah air.

Acara karapan sapi yang selalu menjadi daya tarik, ternyata tak hanya masyarakat madura saja. hal tersebut cukup terbukti dari banyaknya penonton yang mencapai ribuan setiap kali acara karapan sapi ini di gelar, tak hanya itu banyak juga turis asing yang juga ikut penasaran menyaksikan acara adat khas madura karapan sapi tersebut. sehingga di situlah salah satu ajang bertemunya masyarakat madura serta dapat memupuk rasa persaudaraan mereka. karena dalam acara ini berbagai kalangan masyarakat ikut berbaur jadi satu dalam lingkup sportifitas dan kegembiraan dalam ajang pesta masyarakat madura karapan sapi.
Dalam acara ini pula Plat-M, sebagai salah satu blogger khas di pulau madura bertempatan dengan HUT Plat-M yang kedua. turut mempromosikan adat budaya yang ada di daerahnya.
Read more...

Upacara Adat Naik Dango

0 komentar
“Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata…!” Kalimat tersebut bermakna, “Adil dan toleran terhadap sesame, bercermin ke surge dan setiap tarikan napas harus patuh terhadap Tuhan. Setiap ada yang mengucapkan salam tersebut, orang harus menjawab, arus, arus, arus yang berarti mengiyakan dan mengharapkan salam itu akan terpenuhi dalam kehidupan semua orang.

Salam tersebut kerap dijumpai dalam setiap upacara adat Naik Dango yang merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa syukur terhadap Nek Jubata atau Sang Pencipta atas berkah yang diberikannya berupa hasil panen (padi) yang berlimpah. Tidak hanya itu, upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Kanayatn yang mendiami Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, hingga Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tersebut diselengarakan secara rutin setiap tahun.

Upacara Naik Dango memiliki empat kegiatan utama. Yang pertama berjuluk Batutuk atau kegiatan menumbuk padi dalam lesung untuk mendapatkan beras, tepung beras (sunguh) atau beras ketan (poe’) untuk persiapan ritual makan bersama atau sesaji. Kemudian disusul dengan acara Matik alias mengucapkan doa untuk menyampaikan maksud dan niatan kepada Nek Jubata agar member restu pada pelaksanaan upacara Naik Dango. Di sini disajikan juga perangkat adat berupa Tumpi Sunguh (cucur putih), Solekng Poe” (ruas bambu berisikan ketan masak), hingga Sirih Masak (daun sirih, pinang siap kunyah dan gulungan rokok daun nipah)

Perhelatan Naik Dango memiliki inti upacara berupa Nyangahathn alias melantunkan doa dan mantra-mantra oleh Panyangahatn (imam adat) untuk memanggil semangat padi, mengucapkan syukur kepada Tuhan atas anugerah yang diberikannya berupa panen padi sampai memohon ampun kepada Nek Jubata atas dosa dan kesalahan dan meminta agar diberikan kesejahteraan pada tahun yang akan datang.
Selanjutnya para peserta upacara akan saling mengunjungi rumah kerabat dan tetangga dan disajikan kudapan atau penganan berupa poe atau salikat (lemang atau pulut yang terbuat dari beras ketan yang ditanak di dalam batang bambu), tumpi cucur (campuran tepung terigu dan tepung beras yang diaduk dengan gula merah dan digoreng), Bontonkng (berbahan baku beras sunguh/beras lading-Bontonkng Sumuh dan yang berbahan dasar beras pulut ladang alias Bontonkng Poe’)

Naik Dango sendiri bermula dari mitos asal mula padi mashyur di antara orang Dayak Kalimantan Barat lewat kisah Ne Baruankng Kulup. Cerita tersebut diawali dengan asal mula padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri oleh burung pipit. Padi tersebut kemudian jatuh ke tangan Ne Jaek yang sedang mengayau alias memenggal. Akibat hanya membawa setangkai padi dan bukan kepala, maka Ne Jaek pun menuai ejekan.
Keteguhan Ne Jaek yang ingin membudidayakan padi tersebut menyebabkan pertentangan di sukunya yang berimbas pada diusirnya Nenek Jaek dari kampungnya. Dalam pengembaraannya, dia bertemu dengan Jubata dan lalu menikah. Perkawinan tersebut menghasilkan Ne Baruankng Kulup yang akhirnya membawa padi kepada “Talino” (manusia) akibat senang turun ke dunia untuk bermain Gasing. Hal tersebut membuat Ne Baruankang Kulup diusir dari Gunung Bawang dan kemudian menikah dengan manusia. Dial ah yang mengenalkan padi (beras) untuk menjadi makanan utama manusia menggantikan Kulat (jamur).

Pada hakekatnya, upacara Naik Dango memiliki tiga aspek. Aspek tersebut antara lain aspek kehidupan masyarakat agraris di mana masyarakat Dayak mengungkapkan tradisi bercocok tanam dengan padi sebagai panen utamanya. Aspek kedua adalah aspek kehidupan religious. Lewat Naik Dango, masyarakat Dayak mengekspresikan rasa syukur, terima kasih dan hormat kepada Tuhan atas panen yang mereka peroleh. Aspek yang terakhir adalah aspek kekeluargaan, solidaritas dan persatuan. Penyelenggaraan Naik Dango secara serentak dalam wilayah kesatuan hukum adat (binua) merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar keluarga khususnya dan masyarakat Dayak umumnya.
Read more...

Songket Palembang Yang Menawan

0 komentar
Sejarah dari kota Pempek alias Palembang tidak bisa dipisahkan dari legenda Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim yang sangat kuat di Pulau Sumatera dengan daerah kekuasaan mulai dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi pada masa jayanya sekitar tahun 683 Masehi. Kerajaan yang dalam bahasa sansekerta berarti bercahaya (sri) dan kemenangan (wijaya) tersebut menjadi cikal bakal kota Palembang.

Salah satu warisan budaya dari kerajaan ini adalah wastra tenun bernama songket. Bukti-bukti songket telah ada sejak zaman Sriwijaya bisa disimak dari pakaian yang menyelimuti arca-arca di kompleks percandian Tanah Abang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kain yang dirangkai dari berbagai jenis benang termasuk benang emas ini menurut sebagian orang bermula dari pola perdagangan antara pedagang asal Tiongkok yang menghadirkan benang sutera dengan pedagang India yang membawa benang emas dan perak. Nah, benang-benang tersebut ditenun dengan pola yang rumit yang diuntai lewat jarum leper pada sebuah alat tenun bingkai Melayu.

Kemampuan membuat Songket tradisional di Palembang biasanya diwariskan secara turun-temurun.Sewet Songket merupakan kain yang kerap digunakan oleh pelapis pakaian wanita di bagian bawah yang dihiasi dengan selendang berteman dengan baju kurung. Dalam upacara adat atau selebrasi pernikahan, pengantin biasanya menggunakan Songket lengkap dengan Aesan Gede (kebesaran), Aesan Pengganggon (Paksangko), Selendang Mantri, Aesan Gandek dan yang lainnya.  Secara kualitas, Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia. Bahkan, songket ini disematkan julukan sebagai “Ratu Segala Kain.”

Pada songket, teknik dan jenis serta kualitas kain yang ditenun dikenal dengan istilah Songket Limar dan Lepus. Lepus adalah kain songket yang kainnya terdiri dari cukitan alias sulaman benang emas berkualitas tinggi yang biasanya didatangkan dari Cina. Bahkan, kadakala benang tersebut diambil dari kain songket berusia ratusan tahun yang akibat umur membuat kainnya menjadi rapuh. Kualitas jenis ini merupakan kualitas tertinggi dengan harga jual yang sangat mahal.

Sementara Limar lebih mengarah kepada teknik pembuatannya. Menurut budayawan Inggris yang hidup di Indonesia pada era colonial, songket jenis ini merupakan kain yang memadukan warna merah, kuning dan hijau dengan pola yang terinspirasi dari buah limau. Sementara pendapat lain menyatakan bahwa nama limar diambil dari bulatan-bulatan yang berasal dari percikan yang menyerupai tetesan jeruk peras.

Cara pemakaian songket pada pria atau wanita memiliki perbedaan mendasar. Kain songket untuk pria yang kerap disebut Rumpak (bumpak) memiliki motif yang tidak penuh dengan tumpal (kepala kain) berada di belakang badan. Songket tersebut dipakai mulai dari pinggul ke bawah sampai di bagian bawah lutut (untuk pria yang telah menikah) dan menggantung di atas lutut (untuk pria yang belum menikah). Sedangkan untuk wanita, tumpal (kepala kain) wajib berada di depan dengan posisi dari pinggul hingga mata kaki.
Read more...

FAHOMBO, Tradisi lompat batu suku Nias

0 komentar
Tradisi lompat batu suku Nias, atau yang biasa disebut fahombo batu adalah tradisi asli suku Nias yang sudah dikenal di Indonesia maupun mancanegara. Namun, tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua kepulauan Nias. Fahombo batu ini hanya bisa ditemukan di kepulauan Nias bagian Selatan, tepatnya di bagian Teluk Dalam dan hanya dilakukan oleh laki – laki. Awalnya tradisi ini untuk berlatih perang para pemuda suku Nias dikarenakan nenek moyang terdahulu sering berperang antarsuku. Jika ada seorang pemuda yang berhasil melewati batu ini sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya ketika ada konflik dengan warga desa lain.

Kemampuan melompat batu dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia harus memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.

Ketinggian batu ini mencapai 2 meter dengan ketebalan 40 cm. Tradisi ini menjadi ajang kesempatan untuk pemuda Nias membuktikan bahwa dirinya sudah pantas dianggap dewasa dan matang secara fisik. Pemuda yang ingin melakukan Fahombo batu ini diharuskan memakai pakaian adat setempat.
Para pemuda masyarakat suku Nias berfikir bahwa lompat batu ini sangat berharga. Maka dari itu jika sang pemuda berhasil melompati batu pada kali pertama bukan saja menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Biasanya jika ada pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu ini keluarga mereka akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukur atas keberhasilan anaknya

Diperlukan latihan yang cukup jika pemuda suku Nias ingin melakukan Fahombo batu. Biasanya pada umur 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhannya, anak laki-laki biasanya bermain dengan lompat tali. Uniknya, meski sudah latihan keras tidak semua pemuda pada akhirnya berhasil melakukan lompatan tersebut.
Kemudian, kenapa pemuda yang mampu melompati batu ini akan dipilih menjadi ksatria kampungnya? Karena ketika terjadi peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri. Mengingat di setiap kampung wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar dan benteng desa.

Oleh karena itu ketika tradisi berburu kepala orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan, mereka ketika melarikan diri harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu, bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Itu juga sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau gunung supaya musuh tidak gampang masuk dan tidak cepat melarikan diri.
Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya. Ketika mereka tiba di kampung, dekat gerbang desa yang dinamakan ‘bawagöli,’ mereka berarak dan berteriak menyanyikan lagu kemenangan.
Read more...

Tradisi Kololi Kie, Ritual Penghormatan Gunung Gamalama

0 komentar
Ribuan suku yang mendiami bumi pertiwi membuat Indonesia kaya akan kebudayaan. Biasanya tradisi di masing-masing kebudayaan sangat berbeda tergantung daerah dan letak geografisnya. Kebudayaan dan tradisi masyarakat yang tinggal di pegunungan memiliki perbedaan disbanding dengan masyarakkat yang hidup di pinggir laut. Namun apa jadinya jika ritual adat berupa penghormatan terhadap gunung berapi dilaksanakan melalui laut? Tradisi tersebut hanya bisa ditemui di Kololi Kie.

Ritual penghormatan terhadap gunung yang telah menjadi sumber kehidupan masyarakat yang hidup dan tinggal di lerengnya memang cukup unik. Jika biasanya di Pulau Jawa, masyarakat hanya berdoa dan mengumpulkan sajen dan di lempar ke tengah kawah seperti yang terjadi pada sedekah gunung di Merapi atau pemberian Ongkek-Ongkek di Gunung Bromo, maka di Kololi Kie, masyarakat Ternate akan mengelilingi Gunung Gamalama melalui rute laut dan darat.

Kololi Kie berasal dari bahas asli Ternate, yaitu “Kololi” yang berarti mengelilingi atau mengitari dan kata “Kie” yang berarti gunung, pulau, atau daratan. Jadi jika diartikan seluruhnya Kololi Kie adalah kegiatan yang mengitari atau mengelilingi gunung. Tradisi ini sudah dilakukan masyarakat Ternate sejak ratusan tahun lalu. Biasanya tradisi Kololi Kie digabung bersama tradisi ritual “Fere Kie”. Tradisi Fere Kie ini adalah ritual naik ke puncak Gunung Gamalama untuk berziarah kepada leluhur. Ada dua jalur untuk melakukan tradisi ini. Jalur pertama melalui laut (Kololi kie toma ngolo) dan jalur kedua melalui darat (Kololi kie toma nyiha/nyiho). Dalam perjalanannya, setiap moda transportasi yang digunakan dilengkap dengan alat musik tradisional.

Biasanya rombongan akan berhenti di tiga tempat untuk menabur bunga dan memanjatkan doa.
Ada beberapa tujuan masyarakat Ternate melakukan tradisi ini selain untuk menghormati Gunung Gamalama. Yang pertama adalah niat perorangan yang biasanya dilakukan untuk berdoa agar mendapatkan cita-cita dan mengucap rasa syukur jika apa yang diharapkan tercapai. Kemudian yang kedua adalah niat suatu kelompok yang dilakukan untuk berziarah kepada leluhur dan para sufi. Ritual adat ini biasanya dilakukan apabila kerabat atau keluarga ataupun kelompok yang hendak mendirikan rumah, hendak panen rempah-rempah atau mereka yang selamat dari malapetaka. Kemudian yang ketiga adalah hajatan besar Kesultanan Ternate yang akan dilakukan secara besar-besaran dan sangat meriah terutama di sepanjang rute yang dilaluinya lewat laut.

Photo by: ternate.wordpress.com
Read more...

Yospan, Tari Pergaulan Tanah Papua

0 komentar
Selain terkenal dengan panorama alamnya yang masih asri, Papua juga termashur memiliki kebudayaan yang belum lekang dimakan arus globalisasi. Dari segudang budaya dan tradisi yang dimiliki oleh propinsi yang memiliki wilayah paling luas di bumi pertiwi ini punya banyak sekali jenis tari-tarian rakyat. Semisal tarian pergaulan yang mereka juluki sebagai Yospan. Yospan sendiri merupakan perpanjangan dari kata Yosim Pancar. Alias harmonisasi dari dua tarian rakyat Papua, Yosim dan Pancar.

Tarian Yosim adalah tarian tua yang mirip dengan poloneis dari dansa Barat yang berasal dari daerah Sarmi, kabupaten di pesisir utara Papua. Ada juga sumber yang mengatakan bahwa Yosim berasal dari wilayah teluk Saireri (Serui, Waropen).
Tari Yosim pancar mulai berkembang saat pesawat-pesawat bermesin jet mulai mendaratkan rodanya di Biak sekitar 1960 an saat terjadi konflik antara Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Indonesia. Pada masa itu, banyak pesawat-pesawat tempur MiG buatan Rusia yang dipacu oleh pilot-pilot Indonesia terbang di atas langit Biak tepatnya di atas Bandara Frans Kaisiepo sambil melakukan gerakan-gerakan aerobatik. Nah, gerakan-gerakan inilah yang ditiru oleh para penari Yopan.

Tarian Yosim Pancar memiliki dua regu dalam penampilannya, Regu Musisi dan Regu Penari. Regu musisi memainkan alat musik untuk mengiringi penari, alat musik yang dimainkannya seperti Gitar, Ukulele, Tifa, dan Bass Akustik. Ukulele, tifa dan Stem Bass biasanya dibuat sendiri. Seseorang yang sudah mahir bermain Stem Bass terkadang dapat bermain dengan telapak kaki yang biasanya alat musik ini dimainkan oleh jari dan telapak tangan.

Penari Yospan lebih dari satu orang dengan gerakan dasar yang penuh semangat, dinamik dan menarik, Contoh gerakan yang terkenal adalah Gale-gale, Jef, Pacul Tiga, Seka dan lain-lain. Kemudian hal lainnya dalam tarian ini yang perlu anda ketahui adalah keunikan pakaian, dan aksesorisnya. Warna dan jenis pakaian yang digunakan masing-masing grup tari Yospan berbeda-beda, namun ciri khas untuk aksesori dalam semua tarian Papua hampir sama.
Read more...

Tradisi Telinga Panjang Suku Dayak

0 komentar
Bumi pertiwi telah tenar sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.504 pulau besar dan kecil yang 6.000 diantaranya merupakan pulau tidak berpenghuni. Seluruh pulau-pulau tersebut didiami oleh ribuan suku yang memiliki akar budaya dan tradisi serta adat istiadat yang berbeda. Inilah yang menyebabkan Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan alam dan hasil bumi, namun juga punya keberagaman budaya. Dari sekian banyak tradisi dan adat istiadat tersebut, masing-masing memiliki perbedaan dan keunikan tersendiri.
Misalnya budaya dan tradisi Suku Dayak. Suku yang hidup di Pulau Borneo ini selain punya seni tato juga memiliki tradisi telinga panjang yang hampir punah seiring dengan arus globalisasi dan perkembangan jaman.

Jika masih ada yang mempertahankannya, itu pun tinggal segelintir orang Dayak berusia lanjut.
Alasannya, lantaran generasi muda suku Dayak merasa malu memiliki daun telinga yang panjang dan kerap diolok-olok saat mereka bertandang ke kota. Selain itu, trend di ranah fashion juga cukup berpengaruh untuk meredam dan perlahan menghilangkan tradisi tersebut. Biasanya mereka yang bertelinga panjang sengaja memotong ujung daun telinganya lewat sebuah operasi kecil.
Namun tidak semua sub suku Dayak di Pulau Kalimantan punya tradisi ini. Hanya beberapa kelompok saja yang mengenal budaya telinga panjang, itupun yang mendiami wilayah pedalaman. Seperti masyarakat Dayak Iban, Dayak Kayaan, Dayak Taman dan Dayak Punan. Semisal Suku Dayak Kayaan mengenal tradisi ini dengan sebutan Telingaan Aruu yang dimulai saat seseorang masih bayi dan hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan.

Setelah luka bekas tindikan mengering, kemudian di pasang benang yang lalu diganti oleh kayu sehingga lubang kian lama makin membesar. Prosesi penindikan telinga ini dikenal dengan sebutan Mucuk Penikng. Anting akan ditambahkan satu persatu ke dalam telinga yang lama kelamaan akan mebuat lubang semakin membesar dan memanjang.

Berbeda dengan Suku Dayak Kayaan, tradisi telinga panjang di Suku Dayak Iban tidak dilakukan dengan member pemberat, hamper serupa dengan tradisi di Suku Dayak Taman. Menurut Guru Besar Hukum Adat Universitas Tanjungpura, Prof. Dr. Yohanes Cyprianus Thambun Anyang yang dikutip dari laman ceritadayak.com, “Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang tidak terkait dengan strata sosial tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas keperempuanannya.”
Read more...

Tradisi Adu Betis Dalam Merayakan Panen

0 komentar
Apa yang terjadi jika dua orang pria dewasa saling mengadu kekuatan betis mereka dengan cara menendangkan satu sama lain? Itu lah kira-kira yang terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan tepatnya di Moncongloe, Kabupaten Maros setiap masa panen tiba. Adu Betis atau dikenal dengan sebutan Mappalanca memang sebuah permainan rakyat yang telah menjadi tradisi turun temurun.

Tradisi adu betis memang menjadi tradisi yang menarik untuk disaksikan. Setiap pria saling unjuk kekuatan dengan mengadu betis mereka. Baik tua maupun muda ikut berpartisipasi dalam tradisi ini. Sorak-sorai penonton semakin memeriahkan suasana kegembiraan pasca panen ini.

Uniknya, tradisi ini diadakan di tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat. Sebuah pemakaman keramat yang letaknya agak jauh dari pemukiman penduduk dijadikan lokasi dilaksanakannya tradisi ini. Makam yang terletak di sebuah bangunan dan ditumbuhi pohon-pohon ini dipercaya sebagai makam Gallarang Monconloe yakni leluhur desa sekaligus paman dari Raja Gowa Sultan Alaudin.

Tradisi adu betis biasa dilakukan pada Agustus bertepatan dengan masa panen dan pesta tahunan Agustusan (Perayaan Hut Kemerdekaan RI). Pada dasarnya, tradisi ini menjadi bagian dari serangkaian pesta tahunan untuk merayakan masa panen. Dalam tradisi ini juga terdapat upacara tumbuk padi (akdengka ase lolo) dan sepak takraw (paraga).

Pesta Tahunan ini merupakan acara akbar. Oleh karenanya pelaksanaannya pun diorganisir oleh sebuah kepanitiaan dengan melibatkan seluruh penduruk. Pendanaan pun dilakukan secara bergotong royong dengan mengumpulkan gabah dan uang. Hal ini juga menjadi cerminan dari nilai-nilai bangsa Indonesia.
Adu betis dimulai secara berkelompok. Para pria membentuk sebuah lingkaran besar, sementara para penonton menyaksikan di tepian arena. Setelah aba-aba diberikan, para pria tadi saling menendangkan betis mereka sebagai bentuk adu kekuatan. Tidak ada pemenang dalam tradisi ini. Nilai patriotisme serta kebersamaan lebih ditonjolkan dalam adu betis ini.

Adu betis merupakan salah satu dari beragam kebudayaan Indonesia yang terbilang unik. Selain keunikannya, tradisi adu betis terus dilaksanakan dari tahun ke tahun demi mempertahankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai kebersamaan, solidaritas dan patriotisme merupakan kearifan lokal yang berusaha dipertahankan melalui tradisi adu betis ini.
Read more...

Tari Barong Bali

0 komentar
Pulau Dewata Memang menyimpan segudang keunikan seni, budaya dan tradisi yang masih dipegang teguh serta dijalankan hingga saat ini. Tidak hanya untuk mempertahankan akar budaya, namun juga sebagai penghibur para pelancong yang berwisata ke Pulau Bali. Banyak atraksi seni termasuk tari-tarian yang memiliki maksud dan filosofi positif dibalik dinamisme geraknya. Salah satu diantaranya adalah Tari Barong. Tarian yang berasal dari khazanah kebudayaan Pra-Hindu ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan dan kebatilan.

Dalam Tari Barong, kebajikan direpresentasikan pada lakon Barong, yakni seorang penari dengan kostum binatang berkaki empat. Sementara kebatilan dimainkan oleh Rangda, sosok menyeramkan dengan taring di mulutnya. Keduanya bertarung sambil menari mengikuti alunan musik tradisional Bali.
Tokoh Barong pada tarian ini memang cukup sentral. Kostumnya pun menarik karena dilengkapi dengan beragam pernak-pernik yang meriah. Barong sendiri digambarkan sebagai makhluk perpaduan singa, harimau dan juga lembu. Pada tubuh barong dihiasi dengan ornamen dari kulit, potongan kaca cermin serta dilengkapi dengan bulu-bulu yang terbuat dari serat pandan. Tokoh barong juga dimainkan oleh dua penari sekaligus.

Selain memainkan cerita Pra-Hindu, ada juga beberapa tokoh pendukung lain seperti Kera yang merupakan sahabat Barong, Dewi Kunti, Sadewa serta para pengikut Rangda. Meskipun tarian ini menceritakan tentang pertarungan antara kebatilan dan kejahatan, tarian ini mengandung unsur komedi yang diselipkan di tengah-tengah pertunjukan. Hal itu tercermin dari beberapa gerakan dari Barong dan kera yang mengundang tawa penonton.

Tari barong masih mengandung unsur budaya khas Bali yang amat kental terlebih pada hal-hal yang berbau mistis. Pada pembuatan kostum barong, bahan-bahan diperoleh dari kayu-kayu yang dianggap keramat. Selain itu disela-sela tarian ini juga diselingi Tari Keris yang kerap ditunjukan adegan menusukan keris layaknya pertunjukan Debus dari Banten. Oleh karena itu tidak hanya sebuah tari budaya, tari barong juga sangat disakralkan oleh masyarakat Bali.

Layaknya warisan seni budaya Indonesia lainnya, dibalik keunikan dan keindahannya tari barong juga memiliki makna dan nilai luhur yang mendalam. Pesan bahwa kebatilan akan selalu menang melawan kejahatan tercermin jelas melalui kemenangan Barong melawan Rangda. Hal ini juga sejalan dengan nilai-nilai yang diwariskan para leluhur dan pendahulu bangsa.
Read more...

Sejarah Goa Akbar

0 komentar
Jika  Urbanis membayangkan goa, lumrah jika berpikir goa terletak di pedesaan, pegunungan atau hutan pedalaman.
Namun berbeda dengan Goa Akbar, sebuah obyek wisata populer di Tuban, Jawa Timur.
Anda tak pelu menyusuri pelosok atau menjelajah hutan belantara. Jarak tempuhnya hanya 10 menit dari alun-alun Tuban.

Jangan bayangkan juga jalanan sunyi menuju lokasi goa, karena Goa Akbar terletak tepat di belakang Pasar Baru Tuban yang nyaris tak pernah sepi.
Dengan tiket seharga Rp 2.000, Anda sudah bisa memasuki goa yang memiliki lintasan sekitar 1.100 meter ini.

Tak perlu risau, sejak1996, pemerintah setempat melakukan renovasi secara berkala yang memudahkan Anda menelusuri goa yang konon ditemukan Sunan Bonang 500 tahun silam ini.
Jalan di dalam goa terbuat dari paving block, ada pagar pembatas besi dan memiliki penerangan cukup. Pagar pembatas berfungsi agar pengunjung memiliki arah yang jelas saat bertualang dan tidak tersesat.
“Banyak sekali perbaikan di sini, 10 tahun lalu saya ke sini belum senyaman ini,” jelas Probo, seorang pengunjung dari Surabaya.

Hati-hati, jangan terkejut bila mendadak kelelawar terbang di sekitar Anda. Goa ini juga menjadi habitat kelelawar.
Di samping stalagtit dan stalagmit yang eksotis, Anda juga bisa melihat tempat yang dipercaya pernah dipakai Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga bertapa, Pasepen Koro Sinandhi.
Karena itu, ada aturan dilarang berbuat mesum di goa yang dalam sehari rata-rata dikunjungi  lebih dari 500 orang ini. Selain tak boleh berbuat mesum, merokok dan membuang sampah sembarangan juga tak diizinkan.

jika penasaran, silahkan anda meluangkan waktu liburan ada di kota TUBAN

Read more...

Sabtu, 17 Maret 2012

Catatan Perjalanan Bung Hatta

0 komentar


Memoar Mohammad Hatta diterbitkan ulang dengan judul baru dan format berbeda dibandingkan dengan edisi awalnya yang berjudul Mohammad Hatta: Memoir. Isinya tidak berubah. Banyak hal diungkap pahlawan proklamator ini seputar kiprahnya dalam pergerakan kebangsaan. Begitu pula beragam peristiwa menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus yang tak banyak diketahui generasi muda kini. Tak kalah penting ceritanya seputar tokoh-tokoh bersejarah di republik ini serta perselisihan awalnya dengan Bung Karno. Berikut nukilan cerita dari buku berjudul besar Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi itu.

“Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902.” Begitulah Bung Hatta mengawali otobiografinya, dilanjutkan dengan penggambaran seluk-beluk kota itu dari berbagai aspek. Mulai kondisi alamnya yang indah, denyut perekonomiannya, populasi, hingga latar belakang sejarah dan sekilas politik pengajaran yang diterapkan pemerintah kolonial.

Tentang kondisi alam dan letak geografisnya tentu tak banyak berubah dari gambarannya. Bukittinggi masih berudara sejuk dan berada di tengah-tengah Dataran Tinggi Agam. Keindahan kota itu dengan panorama di sekelilingnya pun masih bertahan, berlatar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Kecuali jumlah penduduk dan tata kotanya yang tentu sudah sangat berbeda dibandingkan dengan masa itu.
“Pada masa aku kanak-kanak, penduduk Bukittinggi kira-kira hanya 2.500 orang. Di antaranya, kurang-lebih 300 orang Belanda dan paling sedikit 1/3 dari itu termasuk keluarga militer…. Jumlah orang Tionghoa dan kaum peranakan ada kira-kira 600 atau 650 orang…. Kemudian ada pula beberapa keluarga Keling yang diam di Bukittinggi.” Demikian Bung Hatta melukiskan populasi kota yang pernah berjuluk “Fort de Kock” itu. (Menurut catatan Pemerintah Kota Bukittinggi, jumlah penduduknya kini sekitar 174.000 jiwa).

Dari aspek ekonomi, Bukittinggi sejak dahulu memang menjadi pusat kegiatan ekonomi warga daerah sekitarnya. Bahkan, menurut perkiraannya, pasar besar di situ sudah ada sebelum Belanda datang. “Tiap-tiap hari Rabu dan hari Sabtu ada pekan di Pasar Bukittinggi. Maka ramailah orang datang ke situ…. Selain dari pedagang yang datang menjualkan barang-barangnya, tidak sedikit pula orang yang datang berbelanja. Selain dari tempat jual-beli, pasar itu juga tempat pesiar,” tulis Bung Hatta.
Letak rumah tempat Bung Hatta dilahirkan, kawasan Aur Tajungkang, tidak seberapa jauh dari pusat keramaian itu. Kira-kiranya hanya berjarak satu kilometer. Sebuah rumah bertingkat dua, terbuat dari papan dan beratap seng. Di sisi kiri rumah itu agak ke belakang terdapat kandang kuda yang dapat memuat sampai 18 ekor kuda. Tidak mengherankan bila banyak kuda di rumah itu karena kakeknya dari pihak ibu, Ilyas gelar Baginda Marah, yang disapanya Pak Gaek, adalah pengusaha angkutan pos.
Pengaruh Agama dari Keluarga Ayah

Dalam catatannya, Hatta mengakui, hubungan sang kakek dengan penguasa Belanda pada masa itu cukup dekat. Itulah yang membuka jalan bagi dirinya di kemudian hari mendapat kesempatan masuk sekolah Belanda, HIS, dan menamatkan pendidikan dasar itu di Padang. Kendati sempat empat tahun tinggal di rumah ayah tirinya, Haji Ning, tak banyak hal yang diungkap Hatta soal lelaki itu. Kecuali ia belajar mengenal masalah-masalah ekonomi dan prakteknya.
Hatta memang ditinggal wafat ayah kandungnya, Haji Muhammad Djamil, sejak berusia delapan bulan. Kampung kelahiran ayahnya, Batuhampar, dahulu terkenal sebagai pusat pendidikan agama Islam. Datuknya dari pihak ayah, Syekh Abdul Rahman, diakui sebagai ulama besar di situ. Posisi sang datuk lalu digantikan anak sulungnya, Haji Arsyad, yang bukan lain kakek Bung Hatta sendiri.
Selain dari guru mengajinya, Syekh Muhammad Djamil Djambek, pihak keluarga ayahnya inilah yang memberi pengaruh besar tentang keislaman pada dirinya. Itu tergambar jelas pada saat ia menuliskan kesannya tentang Haji Arsyad yang ahli tarekat itu. “Sikap beliau sangat menakjubkan aku. Di situlah aku belajar bagaimana mesti hidup dan bergaul secara Islam,” tulis dia.
Mengenal Organisasi dari Sepak Bola

Tinggal bersama Haji Ning ternyata memberikan pelajaran tersendiri bagi dia. Hatta mengaku, di masa empat tahun itu ia belajar berdiri sendiri. Ia belajar mengatur waktunya sendiri, kapan harus belajar dan kapan bermain-main ke luar rumah. Malah pada masa ini pula ia mulai berkenalan dengan organisasi –berawal dari posisi bendahari klub sepak bola Swallow.
Ketika duduk sebagai siswa MULO, sekolah setingkat SMP di zaman Belanda, perhatiannya pada kegiatan berorganisasi bertambah besar. Di organisasi bernama Sarikat Usaha, ia mengenal dekat sekretarisnya, Engku Taher Marah Sutan. Dari dialah Hatta mengetahui kiprah Sarikat Islam dan tokoh-tokohnya, seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis.

Kegiatan nyata Hatta dalam organisasi pergerakan pun dimulai dari Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang pada 1918. Ia pun terpilih sebagai bendahari –posisi yang pernah dipegangnya dalam perkumpulan sepak bola. Dan pilihan itu tidak salah karena ternyata Hatta memang piawai mengelola keuangan untuk memajukan organisasi. “Karena aku menjadi bendahari pada dua perkumpulan, aku dapat merasakan dari dekat apa artinya keuangan bagi hidup perkumpulan,” tulis dia lagi.

Dalam berorganisasi ini, Hatta mengakui pengaruh Abdul Muis terhadap perhatiannya akan masalah-masalah kemasyarakatan. Dari tokoh pergerakan inilah ia mendengar gagasan tentang “rakyat memerintah sendiri” sebagai tujuan pergerakan nasional. Semua itu diperolehnya dari pidato Abdul Muis ketika bertandang ke Padang sebagai anggota Volksraad. “Aku kagum melihat cara Abdul Muis berpidato,” ujar Hatta terus terang.
Setamat MULO di Padang, Bung Hatta melanjutkan pendidikan ke Prince Hendrik School (PHS) di Betawi alias Jakarta. PHS yang dimasuki Hatta adalah sekolah dagang menengah dengan jenjang pendidikan lima tahun. Karena Hatta lulusan MULO, di sekolah ini ia diterima di kelas IV dengan mengambil jurusan dagang. Di sekolah ini juga ada jurusan pelayaran.
Menjadi Pengurus JSB di Betawi

Selama menuntut ilmu di Betawi, Hatta membeberkan betapa besar jasa kerabatnya yang dipanggil Mak Etek Ayub. Lelaki ini bukan lain anak sahabat karib kakeknya dari pihak ibu yang sudah seperti keluarga sendiri. Mak Etek inilah yang menanggung biaya sekolah dan biaya hidupnya di Betawi. “Mak Etek Ayub memberi aku f75 sebulan, jauh berlebihan dari yang aku perlukan tiap bulan,” tulis Hatta. Dari kelebihan itu dan uang kiriman keluarga di Bukittinggi, ia dapat menabung untuk biayanya kelak meneruskan studi ke Belanda.
Jasa Mak Etek Ayub tidak sebatas membiayai hidup dan sekolahnya. Hatta juga mengaku, lelaki setengah baya itu pula yang memperkenalkannya dengan buku-buku bermutu. Pada akhir Agustus, ia diajak ke toko buku di kawasan Harmoni dan dibelikan tiga macam buku. Buku-buku berjudul Staatshouishoudkunde, De Socialisten, dan Het Jaar 2000 itulah yang pada awalnya mengisi perpustakaan pribadi Hatta. Ia mengakui, buku De Socialisten itulah yang membuka cakrawala pengetahuan awalnya tentang sosialisme.

Ada catatan kecil menarik dari pengakuannya soal kesan yang didapatnya selama menuntut ilmu di PHS. Katanya, “Cepat, tepat, dan teratur, itulah warisan yang kubawa dari PHS. Didikan pada Handleshogeschool di Rotterdam menyempurnakannya. ‘Berbuat karena Allah’ yang menjadi dasar didikanku dari rumah juga membentuk aku sebagaimana aku dalam pelajaran, pendidikan, dan perjuangan untuk bangsa dan negara selama hidupku.”

Selama tinggal di Betawi, Hatta melanjutkan kiprahnya di JSB sebagai bendahari pengurus besar. Dari kegiatan organisasi itu, ia dapat berkenalan langsung dengan tokoh-tokoh terkemuka pada saat itu, termasuk Haji Agus Salim. Perkenalan dengan Haji Agus Salim pun berlanjut dengan diskusi seputar buku-buku yang telah dibacanya, termasuk tiga buku pemberian Mak Etek Ayub itu. Hatta mengaku, diskusi pada malam hari itu memperkuat keyakinannya pada sosialisme, “Yang mulai bersarang dalam jiwaku,” katanya.
Setamat PHS pada Mei 1921, Hatta yang bercita-cita melanjutkan studi ke Rotterdam sempat patah semangat. Terutama mengingat masalah biaya hidup di sana. Tapi dorongan guru kimia dan pengetahuan barang, Mr. de Kock, menguatkan kembali hatinya. Hatta pun berangkat bermodalkan tabungannya selama ini. Ia juga bertekad mencari beasiswa karena, setelah dihitung-hitung, tabungannya hanya cukup untuk hidup satu tahun.

Beruntung pula, sebelum ia berangkat, pemimpin surat kabar Neratja meminta dia menulis artikel tetap dari Belanda, dengan honor lebih besar dari biasanya. “Biasanya Neratja membayar untuk satu kolom f2,50, tapi untuk karangan-karanganku dari luar negeri kuminta f5.” Dan permintaan itu langsung disetujui.
Kesepakatan Diam-diam dengan Semaun Pada 5 September 1921 siang, kapal Tambora yang membawa Hatta ke Belanda berlabuh di Rotterdam. Inilah awal langkahnya yang lebih besar lagi, baik dari segi pendidikan maupun peran dalam pergerakan mahasiswa Indonesia. Hatta tak hanya mencurahkan waktunya untuk studi di Handleshogeschool, melainkan juga membaginya untuk bergiat di Indische Vereeniging. Ia secara teratur menulis di majalah Indonesia Merdeka, yang diterbitkan organisasi itu sejak 1924.

Organisasi mahasiswa Indonesia yang sempat pula menyandang nama Indonesische Vereeniging itu mengubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia semasa dipimpin Soekiman Wirjosandjojo pada 11 Januari 1925. Sedangkan Hatta di masa kepemimpinan Soekiman ini lagi-lagi dipercaya menjadi bendahari organisasi itu dan baru pada tahun berikutnya terpilih menjadi ketua.

Dalam posisi itulah ia menjadi semakin aktif dalam kegiatan politik dan bertemu tokoh-tokoh pergerakan di luar negeri. Ia juga berkesempatan mengunjungi sejumlah kota di Eropa untuk mengikuti berbagai kegiatan internasional, termasuk menghadiri Kongres Liga Menentang Imperialisme untuk Kemerdekaan Nasional di Brussels pada Februari 1927. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia, seperti Semaun. Di Eropa ini pula ia berkenalan dengan Tan Malaka yang sudah kesohor.

Ada yang menarik dari cerita Hatta seputar peristiwa setelah pemerintah kolonial memadamkan pemberotakan PKI 1926 hanya dalam sepekan. Peristiwa itu makin memuluskan rencana Hatta mendirikan partai di Indonesia sebagai kepanjangan tangan Perhimpunan Indonesia. Rencana itu baru benar-benar terwujud pada 1931, dengan pembentukan partai kader bernama Pendidikan Nasional Indonesia atau sering disebut PNI Baru.
Semaun yang baru diangkat menjadi anggota Komintern datang menemui Hatta di Den Haag. Dalam pembicaraan mereka, Semaun bersedia membuat kesepakatan pengakuan terhadap kepemimpinan Perhimpunan Indonesia. Hal ini berarti Perhimpunan Indonesia akan memegang peran penting dalam pergerakan di Indonesia. Kesepakatan ini ternyata menyebabkan Semaun dipecat dari Komintern karena dianggap tunduk pada kemauan kaum nasionalis.

Selama menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, Hatta banyak menghadiri forum-forum internasional. Bukan cuma bicara di depan Kongres Liga Menentang Imperialisme, ia juga tampil berbicara di dalam forum Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan. Malah ia berkesempatan memperdalam pengetahuan tentang koperasi ke beberapa negara jantungnya koperasi di Skandinavia: Denmark, Swedia, dan Norwegia.
Pertemuan Pertama dengan Soekarno
Konvensi yang dibuatnya bersama Semaun rupanya bocor. Isu seputar konvensi itu ternyata menjadi salah satu alasan Pemerintah Belanda menahan Bung Hatta pada 27 September 1932. Pada saat itulah, Bung Hatta menyusun pidato pembelaan dirinya yang tertuang dalam naskah berjudul “Indonesia Vrij” alias “Indonesia Merdeka”. Hampir enam bulan lamanya ia bersama beberapa rekannya di Perhimpunan Indonesia mendekam di penjara, sampai akhirnya pengadilan membebaskan mereka pada 22 Maret 1928.

Genap 11 tahun Hatta mukim di Belanda sampai studinya selesai. Pada 20 Juli 1932, ia berangkat dari Rotterdam menuju Indonesia, melewati Paris dan Genoa. Lalu, dari Genoa, ia singgah dulu di Singapura dan menginap dua malam. “Di situlah aku merasai kembali suasana kolonial. Ke mana aku pergi selalu diikuti oleh polisi rahasia. Dari Singapura aku meneruskan perjalanan pulang ke Indonesia dengan menumpang kapal KPM,” tulis dia mengenang perjalanan pulang.

Sesampai di Tanjung Priok, ia disambut iparnya, Dahlan Sutan Lembaq Tuah, juga Nyonya Suwarni Pringgodigdo dan beberapa anggota PNI Baru. Bawaannya yang begitu banyak, setidaknya ada 16 peti besi berisi buku, sempat membuat inspektur polisi yang memeriksanya tercengang. “Begitu banyak buku yang Tuan bawa,” itulah komentar sang inspektur yang baru sempat memeriksanya tiga hari kemudian.
Perjumpaan pertamanya dengan Bung Karno berlangsung setelah dua pekan Hatta berada di Jakarta. Itu pun atas inisiatif seorang pemilik toko Padang di kawasan Kramat bernama Haji Usman, yang mengajaknya ke Bandung dengan mobilnya. “Anak gadang Hatta kan belum bertemu dengan Soekarno. Dia sudah kira-kira setengah tahun keluar dari Penjara Sukamiskin…. Sungguhpun berlainan partai, baik juga belajar kenal dengan dia,” tulis Bung Hatta mengutip ucapan haji itu.

Pertemuan dengan Soekarno itu berlangsung pada Sabtu malam sekitar pukul 09.00 di hotel tempat Bung Hatta menginap. Bung Karno datang bersama orang pergerakan lainnya, Maskoen Soemadiredja, yang juga anggota PNI Baru. Menurut Hatta, mereka hanya mengobrol ringan, tak menyinggung sama sekali soal penyatuan Partai Indonesia dan PNI Baru. Baru pada saat berpamitan pulang, Bung Karno berpesan agar Hatta segera kembali ke Bandung untuk membicarakan masalah itu.
“Aku menjawab bahwa memang aku akan lekas kembali ke Bandung, terutama untuk bertemu dengan Pengurus Umum PNI Baru. Setelah mereka berangkat, Haji Usman berkata bahwa ia mengerti Soekarno tidak mau menyinggung masalah Partindo dan PNI Baru karena dia sendiri, yang bukan anggota dari kedua partai, ada hadir,” Hatta mengenang pertemuan itu.
Awal Perselisihan dengan Bung Karno

Ketika Hatta kembali ke Jakarta, PNI Baru juga sudah memiliki media sendiri yang terbit secara berkala. Namanya Daulat Ra’jat. Hatta segera pula menuangkan segala pemikirannya tentang pergerakan melalui media itu. Di salah satu tulisannya, “Pendirian Kita”, ia menjelaskan dengan gamblang latar belakang pemilihan nama Pendidikan Nasional Indonesia.
Ia antara lain menulis, “Sifat perkumpulan kita pendidikan, karena memang maksud kita mendidik diri kita. Politik di negeri jajahan, terutama berarti pendidikan. Politik mengenai pengertian biasa tidak bisa dijalankan, kalau rakyat tidak punya keinsafan dan pengertian…. Kedaulatan Rakyat dasar pendidikan kita. Inilah yang dimajukan oleh ‘Daulat Ra’jat’ semenjak ia berdiri dan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dalam kursus-kursusnya.”

Penggambaran Hatta tentang bentuk pergerakan ini boleh dibilang sebagai gambaran awal perselisihan pahamnya dengan Bung Karno. Hatta mengecam cara-cara agitasi yang dianggapnya tidak mendidik rakyat ke arah satu pengertian tentang asas pergerakan. “Demokrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak berkehendak akan kerja dan usaha terus-menerus. Dengan agitasi mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang,” tulis Hatta menyindir Bung Karno.
Perbedaan prinsip itu pula yang rupanya menghalangi penyatuan PNI Baru dengan Partindo. Dalam pertemuan berikutnya dengan Soekarno, Hatta menegaskan pendirian dan asas pergerakan PNI Baru yang tidak bisa diubah lagi. “Kukatakan, lebih baik kedua belah pihak jangan serang-menyerang. Di mana perlu diadakan aksi bersama.”

Polemik berikutnya di antara dua tokoh ini berlangsung seputar gagasan tentang gerakan non-kooperasi. Perdebatan ini mencuat setelah beredar kabar bahwa Hatta dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer. Kendati Hatta tegas-tegas menolak pencalonan itu, Bung Karno tetap melancarkan kritik pedas lewat tulisannya di beberapa media, termasuk Oetoesan Indonesia.
Hatta mencatat, “Polemik itu menjadi pertentangan paham antara Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia. Menurut paham Partindo, seorang non-cooperation melanggar asasnya apabila mau masuk ke dalam Tweede Kamer. Menurut keyakinan PNI Baru, duduk bersidang dalam Tweede Kamer tidak bertentangan dengan dasar non-cooperation, karena Tweede Kamer adalah suatu parlemen, bukan dewan jajahan. Dalam parlemen, pemerintah dan oposisi sama derajatnya.”

Polemik itu berlangsung cukup alot dan sengit. Hatta kemudian mengupas pandangan beberapa pemimpin Partindo soal sifat non-kooperasi. “Pandangan Soewandhi tentang non-cooperation berlainan dari pandangan Soekarno dan pandangan Soekarno lain lagi dari pendapat Ptw, yang di belakang itu bersembunyi Amir Sjarifuddin…. Dapatkah rakyat dididik yang terang dari politik gado-gado seperti itu?”
Ditangkap Lalu Diasingkan
Di sela-sela aktivitas pergerakan di bawah bendera PNI Baru, Hatta sempat bertandang ke Jepang atas ajakan Mak Etek Ayub. Di tanah seberang, ia terus mengikuti perkembangan di dalam negeri. Ia pun mendapat kabar, selama berada di “negeri sakura” itu, polisi kolonial bertindak lebih keras terhadap pergerakan rakyat. Hatta sendiri sempat mengalami tindakan keras itu pada sejumlah kursus yang diberikannya kepada kader-kader PNI Baru.
Yang segera merasakan tindakan keras itu adalah Bung Karno. Ia ditangkap polisi rahasia pada 31 Juli 1933. Penangkapan ini berlanjut dengan larangan mengadakan rapat dan bersidang untuk semua partai berhaluan non-kooperasi. termasuk PNI Baru dan Partindo. Setelah itu, berpuluh-puluh pemimpin ikut ditangkapi pula.

Tapi semua itu tak menyurutkan semangat Hatta untuk tetap berjuang melalui tulisan. Ia terus mengecam tindakan represif pemerintah jajahan lewat Daulat Ra’jat. Semua lalu berujung penangkapan dan penahanan dirinya pada 25 Februari 1934.
Seperti tercatat dalam sejarah, Hatta kemudian diasingkan ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua, pada awal Januari 1935. Setelah 13 bulan di Digul, ia bersama Sjahrir dipindahkan ke tempat pengasingan baru di Banda Neira. Inilah masa enam tahun yang tak pernah sepi dari kegiatan yang dijalaninya dalam pembuangan. Dan Hatta punya kenangan tersendiri dalam pengasingannya itu, teristimewa pertemuannya dengan sejumlah tokoh pergerakan seperti Dokter Cipto Mangunkusumo.

Selama di Neira, Hatta menerima tunjangan uang dari pemerintah kolonial sebesar f75 per bulan, sama dengan yang diterima Sjahrir, karena keduanya masih bujangan. Jumlah itu lebih baik bila dibandingkan dengan nilai ransum bulanan ketika ia berada di Digul, yang kalau diuangkan tak lebih dari f12. Dari uang itulah ia membayar sewa rumah seorang Belanda bernama De Vries dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah itu dihuninya berdua dengan Sjahrir.
Setiap bulan, Hatta mengambil uang bantuan itu ke kantor Pemerintah Neira. Di kantor itu pula ia mengambil kiriman uang honorarium dari surat kabar Pemandangan dan Sin Tit Po. Untuk menambah uang saku di pembuangan, sejak di Digul ia memang rutin menulis artikel untuk dua surat kabar itu. Hari-hari Hatta di Neira tak ubahnya di Boven Digul. Walau semula ia mengaku merasakan perbedaan suasana antara Digul dan Neira, Hatta dapat segera menyesuaikan diri dengan keadaan ini.
Seputar Sjahrir di Pengasingan
Di Digul, Hatta dapat berhubungan dengan ratusan orang buangan, sedangkan di Neira jumlah sesamanya tak lebih dari empat orang buangan. Ia pun mengisi waktu dengan aktivitas rutin: membaca buku dan mengajar. Ia mengatur ketat jadwal kegiatannya. Pagi, sekitar pukul 06.00, usai salat subuh, Hatta bersiap-siap sarapan sambil membaca buku.

Dari pukul 08.00 hingga pukul 12.00, ia menyiapkan naskah untuk surat kabar Pemandangan atau Sin Tit Po. Setelah salat lohor, ia makan, lalu beristirahat sampai pukul 14.00, saatnya ia mengajar anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ia lalu menghabiskan waktu sore dengan berjalan-jalan di perkebunan pala, berenang, dan menikmati panorama pantai.
Dengan pengaturan jadwal yang ketat ini, Hatta lambat laun menjadi patokan waktu bagi penduduk setempat, terutama para petani pala. Jika Hatta lewat perkebunan, berarti sudah hampir pukul lima sore, saatnya berhenti bekerja. Malam hari, usai salat magrib dan isya, ia mengajar orang-orang dewasa.
Dua di antara muridnya yang dewasa itu bernama Obeid, seorang pedagang yang ingin mendalami tata buku, dan Djohn, yang mempelajari ilmu politik. Setelah dua tahun berada di Neira, ia menerima dua pemuda, Bachtul dan Moenir, yang berasal dari Bukittinggi, untuk belajar ekonomi dan sejarah. Lalu ada juga waktu yang disisihkannya untuk mengajar Donald dan Louis, dua anak Dokter Cipto.
Hatta punya catatan tersendiri soal sahabat karibnya, Sjahrir, dan anak-anak angkatnya. Pada awal-awal masa pembuangan di Neira, ia melihat Sjahrir seperti dihinggapi psikologi kesunyian. Ia menuturkan, “Di Digul ia biasa mengobrol dengan kawan-kawan yang banyak. Bila ia tidak didatangi oleh kawan-kawan, kebanyakan golongan naturalis, ia sendiri mengunjungi kawan-kawan itu di rumah mereka. Tetapi semacam itu tidak ada di Neira.”

Beruntung, ada anak-anak dari keluarga Baadillah yang kemudian jadi anak angkat Sjahrir. Dengan merekalah –Des Alwi dan Lili, serta saudara sepupunya, Mimi– Sjahrir mengusir kesunyian itu. Tapi, seperti diakui Hatta, ulah anak-anak itu pula yang membuat Sjahrir kemudian memutuskan tinggal di rumah terpisah.
Anak-anak itu menumpahkan air dari vas bunga, kemudian membasahi buku Hatta yang dipinjam Sjahrir. “Sjahrir marah kepada mereka dan aku pun ikut marah…. Pada akhir bulan setelah itu, Sjahrir berkata kepadaku bahwa lebih baik dia pindah rumah saja. Anak-anak angkatnya itu beserta saudara-saudara mereka nakal semuanya. Ia khawatir nanti banyak bukuku tersiram air, mungkin robek.”
Hatta dan Sjahrir keluar dari Banda Neira genap sebulan sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada balatentara Jepang. Mereka lalu ditempatkan di sebuah rumah dalam kompleks sekolah polisi di Sukabumi. Setelah kedatangan pasukan Jepang ke Sukabumi, Hatta pun kembali ke Jakarta.
Kasus Penculikan dan Obsesi Soekarni

Dalam memoar ini, ada satu episode menjelang kemerdekaan yang cukup menarik diungkap Bung Hatta. Sejarah mencatat, ada desakan kuat dari kalangan pemuda agar Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus. Tapi dua tokoh itu tegas menolak tuntutan tersebut. Bahkan Bung Karno sempat menantang Wikana, seorang tokoh pemuda yang datang menggertaknya. Inilah cerita yang melatari cerita tentang penculikan Soekarno-Hatta di pagi buta 16 Agustus 1945.
Menurut kesaksian Hatta, yang terjadi sesungguhnya bukanlah penculikan. Para pemuda mengungsikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok karena, menurut keterangan Soekarni, tokoh pemuda, pada tengah harinya 15.000 rakyat bersama mahasiswa dan anggota Peta akan menyerbu kota, lalu melucuti tentara Jepang. Langkah itu terpaksa ditempuh karena Soekarno-Hatta tidak mau memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga.

Ibu Fat dan Guntur, anak sulung Bung Karno, ikut dalam rombongan. Di Rengasdengklok, mereka ditempatkan di dalam asrama Peta, lalu dipindahkan ke sebuah rumah milik tuan tanah Tionghoa. Tunggu punya tunggu, hingga tengah hari tidak terdengar kabar apa-apa soal gerakan rakyat dan Peta di Jakarta.
Malah ada cerita lucu soal para pemuda di tempat “penculikan” itu. Ternyata mereka yang menjaga rumah “tahanan” Soekarno-Hatta sama sekali tak mengenal siapa Soekarni. Begini kesaksian Hatta, “Kira-kira pukul 12.30, aku minta tolong kepada pemuda yang menjaga di muka pintu halaman supaya Soekarni diminta datang. ‘Siapa itu, Tuan?’ katanya. Kuterangkan bahwa yang kami maksud ialah seorang dari pemuda yang mengantar kami ke rumah itu…. Pemuda itu pergi dan kami tertawa saja melihat ia pergi, sebab sebagai ‘pengawal yang bertugas’ ia tidak boleh meninggalkan tempatnya.”

Tidak lama kemudian, Soekarni datang. “Aku bertanya kepada dia, apakah revolusi yang akan bermula pukul 12.00 tengah hari sudah bermula? Apakah 15.000 rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama mahasiswa dengan Peta sudah masuk kota? Soekarni mengatakan, ia belum mendapat kabar.”
Sekitar satu jam kemudian, Soekarni datang dan mengatakan belum juga mendapat kabar dari Jakarta. Ia pun tidak memperoleh kontak dengan Jakarta. Hatta lalu menyindir, “Kalau begitu, revolusimu sudah gagal. Buat apa kami beristirahat di sini apabila di Jakarta tidak terjadi apa-apa?” Soekarni rupanya belum yakin bahwa revolusi yang direncanakan itu gagal. Ia segera berlalu sebelum Hatta menanyakan apa yang ada dalam pikirannya pada saat itu.

Kabar pasti tentang situasi di Jakarta baru diperoleh setelah kedatangan Mr. Subardjo menjelang magrib, sekitar pukul 18.00. “Ia disuruh Gunseikan untuk mengambil kami semua, membawa kembali ke Jakarta…. Subardjo mengatakan bahwa di Jakarta biasa saja, tidak ada terjadi apa-apa.” Mr. Subardjo sempat melontarkan protes. Bung Hatta menulis, “Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta. Atas pertanyaanku, apakah Panitia Persiapan Kemerdekaan jadi berapat tadi pagi, Mr. Subardjo menjawab, ‘Apa yang akan dikerjakan mereka? Saudara-saudara yang mengundang mereka rapat tidak ada, berada di sini?’.”

Ketika perjalanan kembali ke Jakarta, masih juga ada cerita lucu akibat obsesi Soekarni soal revolusi pada hari itu. Begini cerita Bung Hatta. “Setelah beberapa waktu berjalan, kelihatan langit merah sebelah barat tanda ada yang terbakar. Terus Soekarni berkata, ‘Bung, rakyat sudah mulai berontak, membakari rumah-rumah orang Tionghoa. Lebih baik kita kembali ke Rengasdengklok.” Usut punya usut, ternyata api itu berasal dari jerami yang dibakar rakyat di tempat itu.
Sayangnya, memoar Hatta ini hanya berisi catatan-catatan perjalanan kehidupan pribadi dan politiknya hingga sebatas Konferensi Meja Bundar (KMB) dan penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia. Hingga kini, tidak seorang pun tahu, mengapa Bung Hatta tidak menulis periode selanjutnya dari kehidupan beliau yang tentu tidak kalah penting dan menariknya.
Hanya ada catatan kecil dari putri sulung beliau, Meutia Farida Hatta Swasono, dalam pengantarnya untuk penerbitan ulang memoar ini. Jangankan orang lain, keluarga Bung Hatta sendiri tidak pernah tahu dengan tepat, mengapa beliau tidak menceritakan masa-masa setelah KMB. Yang mereka tahu, “Hal yang paling menggembirakan beliau dalam hidupnya adalah dua peristiwa, yakni ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan ketika menerima penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat.”
Soal peran dan kiprah Bung Hatta pasca-KMB tampaknya masih terbuka untuk bahan kajian dan penulisan.

Walau sejauh ini sudah ada sejumlah buku, brosur, ataupun artikel yang membeberkan buah pikirannya, konsistensinya membina koperasi, sampai kehidupan sosial-politiknya hingga menjelang akhir hayatnya.

(Sumber: Majalah Gatra, Edisi 26 Mei 2011 - 1 Juni 2011, Erwin Y. Salim)
Read more...
 
Imam Mudji's blog © 2011 GONJOL WEB DESIGN. Supported by Gonjol's Themes ByKak Imam